Sarwo Edhie Wibowo:
BERAPA JUMLAH KORBAN TEWAS?
Julius Pour, menggunakan ungkapan Belanda eenmalig, hanya sekali saja untuk menggambarkan kejadian bersejarah. Di mana almarhum Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo tampil. Yakni usaha kudeta G30S/PKI, yang berhasil dia gagalkan dan situasi itu kemudian menciptakan kelahiran Orde Baru."
"Kecuali Jenderal Soeharto, kecuali Jenderal Abdul Haris Nasution, adalah benar, yang pada masa itu menjabat Panglima Kodam-Kodam di Jawa dan secara khusus, tiga serangkai Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, Panglima Kostrad Mayor Jenderal Kemal Idris, dan Panglima Siliwangi Mayor Jenderal HR Dharsono, sangatlah menentukan peranannya."
"Sepanjang ingatan, peranan itu bukan saja secara militer, akan tetapi secara dampak politik. Mereka telah menentukan bobot keseimbangan pada proses peralihan ke Orde Baru. Lamas kita, yang pada waktu itu masih berusia muda, tentu saja selalu ingat, bagaimana penampilan Kolonel Sarwo Edhie dalam seragam Baret Merah yang tampan dan Ksatria, ikut serta memberi warna keberanian, kepada pergerakan masyarakat, khususnya kepada orang-orang muda. Lihat saja foto-foto dari zaman itu...."
"Kita ikut bersyukur, bersama keluarga dan rekan-rekan almarhum, bahwa kepergiannya menghadap Sang Pencipta menjelang Hari Pahlawan. Sehingga pada Hari Pahlawan 10 November-lah, dia dikebumikan di makam keluarga Kampung Ngupasan, di kota kelahirannva, Purworrdjo. Jawa Tengah. Kita suka dan percaya kepada hari-hari baik dan lambang-lambang. Hari baik dan lambang telah bisa terpenuhi oleh almarhum...."
Tajuk Rencana Harian Kompas di atas ditulis Jakob Oetama dengan judul Sarwo Edhie, Hari Pahlawan dan Kesempatan Sejarah, terbit pada edisi Sabtu langgal 11 November 1989. Tajuk Rencana tersebut diakhiri dengan kalimat. "...kesempatan sejarah bagi kita lebih besar sekaligus kompleks. Maka kemauan dan keputusan untuk menangkap dan memanfaatkan kesempatan sejarah itu harus
bersama-sama. Dalam dialog, dalam prinsip dan semangat ingat-mengingatkan, koreksi-mengoreksi, kontrol-mengontrol. Sasaran kita jelas, lurus dan tidak berubah. Tetapi faktor-faktor obyektif mengharuskan kita menempuh jalan yang barangkali berliku-liku.
Dalam isiilah teknis disebut juga kombinasi atau trade-off. Inilah hikmah Hari Pahlawan tahun ini. Kesadaran baru, kesadaran yang kritis dalam usaha melaksanakan pembangunan, sebagai upaya
untuk menangkap serta memanfaarkan kesempatan sejarah...."
Sehari sebelumnya, saya memang menulis sebuah obituari dalam judul Selamal Jalan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo:
"Eenmalig. Suku kata bahasa Belanda ini melukiskan segala sesuatu sering terjadi hanya sekali. Karena itu, setiap orang harus siap untuk bisa muncul dalam panggung sejarah dalam waktu dan saat tepat. Suku kata tersebut sangat cocok untuk melukiskan kehadiran Sarwo Edhie Wibowo. Khususnya dalam hari-hari panjang, pada saat aksi penumpasan terhadap pemberontakan Gerakan 30 September serta perjuangan untuk menegakkan Orde Baru."
"Sejarah tidak bisa diandaikan. Tetapi banyak kemungkinan lain bakal bisa terjadi seandainya tokoh ini tidak muncul. Pada saat itu dia hanya seorang pejabat komandan, sebab pejabat resminya sedang mengikuti pendidikan. Dia juga tidak mempunyai pasukan cukup banyak. Terpaksa para prajurit staf dan mereka yang beium memiliki kualifikasi sebagai pasukan Baret Merah segera dia beri pakaian tempur loreng-loreng berikut baret. Agar dengan demikian bisa memberikan kejutan kepada lawannya, bahwa jumlah pasukannya di Jakarta dan sekitarnya banyak."
"Itulah yang telah dikerjakan oleh Sarwo Edhie begitu menerima secarik nota dari Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto Surat tulisan tangan yang dengan tergesa-gesa dibawa ke Tjidjantung, kediaman Sarwo Edhif sampai akhir hayatnya...."
"Dalam detik-detik paling menentukan inilah. Sarwo Edhie lantas muncul di pentas sejarah secara pas. Dia langsung berbuat sesuai peran yang diperintahkan kepada dirinya. Dia segera menibebaskan RRI, mengamankan Pangkalan Udara Halim perdanakusumah. dan bahkan terus dilanjutkan dengan menumpas aksi pembangkangan dari para pengikut Gerakan 30 September di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali."
"Hari-harinya terus berlanjut. Dengan secara terbuka mendukung massa mahasiswa yang saat itu sedang meiakukan demonstrasi untuk menggulingkan Orde Lama. Sarwo Edhie nadir dan berada di tengah Kampus Universitas Indonesia."
'Termasuk akhirnya, tugas yang sedang dia tangani tetapi urung dilakukan. Bersama anak buahnya, dengan tidak memakai pakaian seragam militer, mencoba meringkus para menteri Orde Lama pada sidang Kabinet Seratus Menteri tanggal 11 Maret 1966. Upaya yang mungkin pada hari-hari biasa akan dinilai sebagai seorang prajurit yang membangkang Panglima Tertinggi-nya. Tetapi dalam masa krisis seperti yang sedang terjadi pada saat itu, sikap semacam inilah yang justru agaknya memang harus dilakukan."
"Aksi penyergapan di atas mungkin bisa menyeret dampak buruk secara bcrkepanjangan jika terjadi. Sungguh beruntung, peristiwa tersebut di atas tidak jadi berlangsung. Oleh karena sidang kabinet segera bubar begitu muncul informasi, ada pasukan liar yang akan segera menyerbu Istana. Presiden Sukarno terbang melarikan din ke Bogor dan sorenya keluarlah Super Semar. Surat Perintah 11 Maret, yang menunjuk Jenderal Soeharto untuk segera menyelesaikan krisis...."
"Krisis memang hanya berlangsung sekali. Dan sesudah krisis tertampungkan, akan terasa sosoknya (Bhima merupakan tokoh wayang kesayangan Sarwo Edhie) segera terlihat jelas, sudah tidak lagi menjadi pas. Meski tidak berarti harus langsung disingkirkan, boleh diibaratkan-kalau ini sebuah cerita wayang, dia harus segera dikembalikan, disimpan, serta dimasukkan ke dalam kotak. Sebab, kalau tetap dihadirkan di panggung, dia malahan akan menjadi the right man, in the wrong place. Dalam istilah sekarang, jika tetap dipaksakan, dia justru akan menjadi salah kostum sekaligus keliru peran...."
Laporan Ajudan Jenderal Yani
Pukiil 05:30 Jumat pagi tanggal 1 Oktober 1965, Kolonel (Inf) Sarwo Edhie Wibowo dibangunkan istrinya karena dua perwira militer datang ke kediaman mereka di Kompleks Asrama RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Datat) di Tjidjantung, Jakarta Timur. Saat itu, jabatan Sarwo Edhie Kepala Staf RPKAD. Tetapi dia menjadi orang nomor satu di Tjidjantung karena Komandan RPKAD Kolonel Moeng Parhadimodjo sedang mengikuti pendidikan militer lanjutan. Sarwo baru resmi ditetapkan sebagai Komandan RPKAD pada bulan Februari 1966.
Masih memakai piama dengan mata mengantuk karena setiap malam Jumat selalu menjalani tirakat, tidur selepas tengah malam, Sarwo Edhie keluar kamar dan terkejut begiru melihat tamunya, "Ada apa dengan Bapak, pagi-pagi kalian datang kemari?"
Kedua tamu. Mayor Soebardi dan Mayor Sudarto, memang sudah tidak asing di mata Sarwo. Mereka ajudan Letnan Jenderal Achmad Yani, Menteri/Panglima Angkatan Darat. Dengan Yani, hubungan Sarwo Edhie sangat dekat. Yani dan Sarwo akrab sejak kecil karena hidup bertetangga dan juga bersama-sama mengikuti pendidikan calon perwira PETA (Pembela Tanah Air) di Bogor. "Sejak itu saya semakin mengenal pribadi Pak Yani karena tempat tidur kami berdampingan."
Selesai pendidikan, sebagai shodancho, setara letnan II, Sarwo Edhie ditempatkan di Magelang, menjadi anak buah Surjosumpeno (mayor Jenderal. jabatan terakhir Sekretaris Militer Presiden Sukamo). Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, PETA bubar. Para pemuda mendirikan BKR (Badan Keamanan Rakjat). Sarwo menjabat Komandan Kompi 17, Batalyon Yani, Resimen Hidjau di bawah pimpinan Sarbini (letnan jenderal, terakhir Menteri Veteran, Kabinet Dwikora yang disempurnakan).
Selama menjalani karier militer, dua kali Sarwo Edhie memiliki pengalaman khusus dengan Achmad Yani.
Pertama pada akhir tahun 1948, semasa gencatan senjata menunggu hasil KMB (Konferensi Meja Bundar) berlangsung. Kompi Sarwo Edhie turun gunung, masuk ke Wonosobo. Pemerintah daerah menyambut mereka dengan pertunjukan wayang kulit di Pendopo Kabupaten. Protokol menentukan, hanya perwira diperbolehkan duduk di pendopo, para prajurit harus berdiri di luar.
Sebentar kemudian, hujan lebat tiba-tiba menyiram Wonosobo. Para petugas keamanan tetap melarang para prajurit masuk ke pendopo. Memlengar penolakan tersebut, anak buah Sarwo Edhie serentak menembakkan senjatanya ke atas. Pertunjukan bubar, semua orang berlarian menyelamarkan diri, mengira Belanda datang menyerbu. Kapten Sarwo keluar, anak buahnya dia kumpulkan, diajak pulang ke asrama.
Paginya, Letnan Kolonel Achmad Yani, Komandan Brigade, datang ke Wonosobo, melakukan pemeriksaan. Ketika ditanya, siapa semalam ikut menembak, seluruh pasukan serentak mengacungkan tangan sambil berteriak, "Kami semua menembak...."
Yani langsung menjatuhkan hukuman. Kompi tersebut dipindahkan ke Purworedjo. Sedangkan Komandan Kompi, Sarwo Edhie, dianggap bersalah tidak mampu mengenclalikan anak buahnya. Dia di-lorot dari pangkat kapten menjadi letnan. Sarwo merasa kecewa dengan keputusan Yani. Dia menuntut diajukan ke Pengadilan Militer untuk menentukan bobot kesalahannya. Yani menolak dengan berkata, "Sudahlah, ...saya tidak bisa berbuat lain."
Merasa diperlakukan tidak adil, Sarwo Edhie menghadap ibunya, sambil mengungkapkan keinginan mengundurkan diri sebagai anggota militer. Ibunya, cucu Sosrokusumo, pengikut Pangeran Diponegoro. Semasa Perang Djawa tahun 1825-1830, Sosrokusumo menjabat kurir Diponegoro. Sang kakek inilah yang diidolakan Sarwo sehingga dia memilih karier militer. Maka ketika Sarwo mengatakan keinginan untuk mundur dari dinas militer, ibunya menjawab, "...yen kowe mlebu tentara mung arep golek pangkat, metua dina iki uga (kalau kamu masuk tentara memang hanya untuk mengejar pangkat, silakan saat ini juga keluar)."
Sarwo Edhie tidak jadi mengundurkan diri.
Dia justru memutuskan, "Perkataan beliau saya jadikan pegangan. Saya menjadi tentara bukan untuk mengejar pangkat, tetapi mengabdi kepada Tanah Air, Bangsa, dan Negara."
Pengalaman kedua Sarwo Edhie dengan Achmad Yani terjadi sewaktu dia ditetapkan menjabal Kepala Staf RPKAD. Pasukan elite Angkatan Darat yang sekarang ini dikenal dalam nama Kopassus (Komando Pasukan Khusus) waktu itu terdiri dari dua batalyon. Pengangkatan Sarwo Edhie sebagai Kepala Staf ditentang Mayor (Inf) Benny Moerdani, Komandan Batalyon II RPKAD. Benny menjagokan Letnan Kolonel (Inf) Widjojo Soejono yang menuruta pendapatnya jauh lebih senior dalam Korps Baret Merah dlbanding Sarwo Edhie.
Dalam kata-kata Benny. "Saya dan Pak Yani berdebat, memakai bahasa Belanda agar staf yang mencoba mendengarkan tidak memahami. Akhiraya. keputusan Pak Yani, Sarwo Edhie ditetapkan sebagai Kepala Staf dan saya ditendang dari RPKAD." Benny mungkin lupa, Yani dan Sarwo sudah akrab sejak zaman pendudukan Jepang. Bahkan. akibal peristiwa penurunan pangkat di Wonosobo, Jenderal Yani sempat berkata, "...saya sudah pernah membikin Sarwo kecewa, tetapi voortaan (selanjutnya) saya tidak akan melupakannya."
Menurul Benny, "Saya tidak lupa, perintah terakhir Pak Yani diberikan dalam bahasa Jawa, melua Mas Harto wae (Kamu ikut Mas Hano saja)." Paginya dia mengembalikan semua atribut RPKAD yang ada, termasuk Baret Merah. Setelah itu Benny menghadap Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto, melaporkan diri siap bertugas.
Dengan latar belakang seperti ini, bisa dipahami Sarwo Edhie sangat terkejut ketika pada Jumat pagi Mayor Soebardi melaporkan, Jenderal Yani telah ditembak, diculik, dan tidak diketahui di mana keberadaannya.
Buku dalam tajuk Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 melukiskan suasana Jumat pagi tanggal 1 Oktober 1965: "Mayor Soebardi menerima kabar penculikan pukul 04.30 dari Mbok Milah, pembantu di rumah Jenderal Yani yang datang ke rumah Soebardi, sama-sama di kawasan Menteng. Setibanya di kediaman Yani, Soebardi mendengarkan cerita anak-anak Yani mengenai kejadian pada dini hari terscbut. Dia sejenak panik. Namun, setelah Nyonya Yayu Ruliah Yani tiba dari tempatnya tirakatan menjelang pukul 05.00, Soebardi menghubungi Mayor Sudarto. Kemudian bersama-sama menuju kediaman Asisten Intelijen Panglima Mayor Jenderal Soewondo Parman."
"Maksud mereka, akan melapor untuk mendapatkan petunjuk bagi tindak lanjutnya. Ternyata, mereka justru mendengar kabar buruk kedua, Jenderal Parman juga diculik. Maka keduanya segera meluncur ke rumah Panglima Kodam V/Djaja Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah, tiba di sana sekitar pukul 05.00. Ternyata, Umar belum memperoleh informasi berarti."
"Mayor Soebardi yang belum mengetahui nasib Jendenl Yani menyarankan kepada Jenderal Umar agar memblokir semua ialan penting di Ibu Kota serta semua jalan keluar dari Jakarta Umar setuju dengan usul tersebut, kemudian memerintahkan mereka menemui Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Inilah sebabnya pada pagi itu Soebardi dan Sudarto berada di Tjidjantung, di ruang tamu rumah Kolonel Sarwo Edhie...."
Tanpa membuang waktu, Sarwo Edhie segera menghubungi Mayor (Inf) Chalimi Iman Santosa, Komandan Batalyon I/RPKAD "Di mana sekarang pasukanmu?"
Mayor Santosa menjawab, "Mereka sudah berada di Senayan mengikuti latihan upacara peringatan Hari ABRI...." ' Sarwo langsung mengeluarkan perintah, "...tarik semua kemhalikan segera ke Tjidjantung." Perintah tersebut bisa dipahami' Mesk, membawa senjata, pasukan komando sebanyak empat kompi tersebut tidak siap tempur karena tidak dilengkapi peluru.
Ketika mendengar berita diculiknya Jenderal Yani, Mayor CI Santosa, yang baru dua hari sebelumnya meninjau perbatasan Kalimantan-Malaysia, masih belum bisa menduga, siapa yang ada di bahk aksi penculikan. Seeara kebetulan, ketika terbang kembali ke Jakarta dan Pontianak pada tanggal 28 September, dia satu pesawat dengan Brigadir Jenderal Soepardjo, Panglima Kopur Mandau �Anak saya di Jakarta sakit," jawab Soepardjo singkat ketika bertemu Santosa. "Saya malahan ikut mengantar ke rumahnya di Sunter karena di Kemayoran Jenderal Pardjo tidak ada yang menjemput."
Perintah Sarwo Edhie menarik RPKAD dari Senayan memang sangat mengejutkan. Pengawas latihan bingung dan marah ketika melihat para anggota RPKAD mendadak naik kembali ke dalam truk mereka, kemudian meninggalkan Senayan dengan tergesa-gesa. Pasukan tersebut sebenarnya juga sedang merasa kebingungan. Berangkat pagi dari Tjidjantung, begitu sampai di Parkir Timur Kompleks Senayan malah langsung diperintahkan kembali.
Setelah sampai di Tjidjantung, Mayor Santosa meraberikan penjelasan. Mereka ditarik karena ada tugas lain yang jauh lebih penting, mengejar para penculik Jenderal Yani. Setelah briefing selesai. Mayor Santosa dan keempat komandan kompi menghadap Sarwo Edhie untuk melakukan pembahasan lanjutan. Ikut hadir dalam pertemuan mendadak pagi itu, Letnan I (Inf) Feisal Tandjung.
Dia mengikuti briefing dengan memakai seragam TNKU (Tentara National Kalimantan Utara).
Selesai menunaikan sholat subuh, Jumat pagi tanggal 1 Oktober 1965, Letnan I (Inf) Feisal Tandjung di Mess RPKAD Tjidjantung menunggu siaran warta berita RRI Pusat. Dalam buku Terbaik untuk Rakyat, Terbaik bagi ABRI (tahun 1999) dikisahkan: "...setengah jam lelah berlalu, namun siaran warta berita yang dinantinya tidak kunjung mengudara. Yang terdengar hanya alunan musik tanpa suara penyiar. Ada apa ini? Feisal bertanya dalam hati. Aneh, kenapa begini? Saya sudah sempat ragu-ragu, jangan-jangan saya keliru meiihat jam? Ternyata tidak. Tetapi saya tidak bisa menduga, apa gerangan yang sesungguhnya sedang terjadi..."
Feisal Tandjung dan anak buahnya sudah berada di Tjidjantung selama dua minggu, menunggu pemberangkatan ke Kalimantan dalam rangka penugasan sebagai sukarelawan untuk Operasi Ganyang Malaysia. Oleh karena mengemban tugas tersebut, semua identitas berikut seragam RPKAD mereka Tinggaikan di asrama Kartasura, Solo, Jawa Tengah. Dengan demikian, begitu mereka di-konsinyir di Tjidjantung, kompi Tandjung sudah mulai membiasakan diri memakai seragam TNKU, warna hijau-hijau dengan baju empat saku berikut identitas serta kartu anggota TNKU.
Kekuatan personel RPKAD yang sedang berada di Tjidjantung memang terbatas. Kompi Kentot Harseno sedang bertugas di perbatasan Kalimantan-Malaysia, sedangkan kompi Edy Sudradjat berada d Manokwari, Irian Barat, memadamkan pemberontakan bersenjaia yang meletus di sana awal Agustus 1965. Kecuali kompi Tandjung dengan seragam TNKU, pasukan RPKAD yang ada di Tjidjantung pada saat itu: kompi Urip, kompi Muchtar, kompi Muhadi, dan kompi Saridho.
Sesungguhnya, pada masa itu bukan hanya RPKAD yang mengalami kekurangan personel. Secara keseluruhan, kekuatan Angkatan Darat di Jawa menghadapi persoalan serupa.
Sebanyak 27 batalyon infantri sedang ditugaskan di Sumatera dan Kalimantan dalam rangka Operasi Ganyang Malaysia. Selain itu, sebanyak 17 batalyon infantri terikat dalam operasi pemulihan keamanan di Sulawesi Selatan dan di berbagai daerah lain. Dengan demikian, dari sebanyak 64 batalyon infantri yang harus dikerahkan untuk mendukung pelaksanaan Dwikora, 27 batalyon tempur dikirim dari Jawa.
Dengan demikian, tiga perempat kekuatan tempur Angkatan Darat telanjur dikirim ke luar Jawa. "Sisa pasukan yang masih ada merupakan batalyon-batalyon yang baru kembali dari perbatasan atau yang sedang disiapkan unluk menggantikan mereka. Oleh karena itu, masalah pertahanan di Jawa menjadi pemikiran serius pimpinan Angkatan Darat," begitu Troop Info Departemen Angkatan Darat No. 1335/TI/65 tanggal 11 Oktober 1965.
"Oleh karena semua satuan Angkatan Darat sepenuhnya terikat atau sedang dikerahkan dalam rangka Konfrontasi, berikut adanya kemungkinan limited attacks dari Nekolim, diperlukan sebuah pasukan cadangan strategis, yang sewaktu-waktu bisa dikerahkan ke segenap penjuru Indonesia. Sebagai inti pasukan cadangan. Brigade III Lintas Udara Kostrad, terdiri dari Batalyon 328, 454, dan 530, dibantu RPKAD."
Darwin, Pakistan, Aijazair
Menghadapi gangguan Nekolim dalam bentuk bantuan terhadap aksi pemberontakan bersenjata, sejak pertengahan tahun 1965, Panglima Angkatan Darat tidak punya pilihan lain kecuali mengambil dari cadangan strategis. Oleh karena itu, Jenderal Yani mengirim kompi Eddy Sudradjat sejak pertengahan Agustus ke Manokwari memadamkan pemberontakan. Ancaman Nekolim untuk memanfaatkan our local army friends seperti tercantum dalam Dokumen Gilchrist ditanggapi secara serius oleh KOTI (Komando Operasi Terringgi).
Indikasi semacam itu sebenamya bukan omong kosong, tampak dalam pembangunan pangkalan militer Commonwealth, Negara Persemakmuran, di Irian Timur, Darwin, dan North West Australia Mereka memperkuat pangkalan militernya sesudah Malaysia berantakan karena Singapura memisahkan din, sehingga pesawat RAAF (Royal Australian Air Force) yang semula disiagakan di Sekitar AFB [Air Force Base) Singapura sudah mulai dipindahkan ke Darwin, Australia bagian utara.
Pemindahan RAAF menjadikan pintu belakang Indonesia terancam. Langkah mereka mcmaksa Jenderal Achmad Yani, dalam kedudukannya selaku Kepala Staf KOTI, akhir September 1965, atau hanya beberapa hari sebelum Peristiwa 30 September meletus, melakukan inspeksi mendadak meninjau pertahanan ABRI di wilayah Nusa Tenggara Timur. Inspeksi yang terpaksa harus dilakukan setelah masuk informasi, pasukan dan pesawat terbang RAAF mulai disiagakan di Darwin, pintu belakang wilayah Indonesia.
Jenderal Yani, dalam posisinya selaku Kepala Staf KOTI, masa itu disibukkan dengan berbagai macam persoalan strategis terkait hubungan antarbangsa. Semisal kebijakan pemerintah Indonesia mendukung salah satu faksi di Laos, yakni Kapten Kong Le, yang baru saja menggusur Kepala Negara Laos Pangeran Souvanha Phouma. Indonesia memberikan bantuan kepada Kong Le dengan melatih anak buahnya di Batudjadjar, Jawa Barat. Tetapi, akibat perekrutan acak-acakan, pasukan tersebut menimbulkan berbagai masalah, dari hal teknis sampai persoalan nonteknis.
Pecahnya perang India-Pakistan pada awal Agustus 1965 juga menyeret keterlibatan Indonesia. Dalam pembicaraan antara Presiden Sukarno dan utusan khusus Presiden Pakistan Jenderal Ayub Khan diputuskan Indonesia membantu Pakistan, diwujudkan dengan memberikan lima pesawat tempur MiG-19, oleh karena AURI bakal ganti jenis lebih canggih, MiG-21.
Meski dukungan Indonesia kepada PaJdstan lebih simbolis sifatnya, karena MiG tersebut diterbangkan personel Pakistan dan dipakai untuk latihan terbang, tetapi persoalan tersebut ikut membikin PR (pekerjaan rumah) sangat banyak kepada Yani. Sebab, keputusan Sukarno mendukung Pakistan selain menunjukkan Indonesia mulai bergeser dari kebijakan luar negeri bebas aktif, penanganannya diserahkan kepada Jenderal Yani. Pada sisi lain, kebijakan Sukarno menunjukkan indikasi, Indonesia sudah mulai ingin menjadi pemain global. Hal tersebut juga tampak dalam keputusan Sukarno mengirim satu kompi Tjakrabirawa membantu menjaga keamanan Konferensi Asia-Afrika II, yang dijadwalkan berlangsung di Aljazair bulan Juli 1965.
Bagi Tjakrabirawa, pengalaman penugasan ke Aljazair temyata sangat mengesankan. "...ketika datang, kami disamhut Presiden Ben Bella. Selang beberapa waktu, kami semua ikut masuk penjara karena Presiden Ben Bella terguling. Kekuasaannya dikudeta Panglima Angkatan Darat Kolonet Houri Boumedienne, yang tidak mau tahu kami ini siapa?" kenang seorang pcrwira Tjakrabirawa. Derita pasukan tersebut bani berakhir setelah melalui sebuah pcrundingan alot dengan rezim baru Aljazair, mereka bisa dibebaskan. Pulang ke Tanah Air, dengan senjata serta pakaian seragam mereka dilucuti.
Pada sisi lain, ikut campur tangannya ABRI dalam beragam persoalan internasional menjadikan para perumus kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Washington mengambil sikap mendua. Di satu sisi, mereka berusaha menjaga kestabilan Indonesia sebagai negara penghasil minyak bumi potensial. Namun, di sisi lain, AS selalu menjaga jangan sampai Indonesia jatuh ke tangan komunis, tcrutama sesudah Perang Vietnam berlangsung berkepanjangan sehingga memaksa AS harus secara all out bertempur di Vietnam, sambil dibayangi gertakan Presiden Sukamo, membentuk poros Jakarta-Hanoi-Peking-Pyongyang.
Dalam tesis berjudul Indonesia Under Soeharto, A Study of the Concentration of Power, From 1965 To 1971, yang dipertahankan Nawaz Mody di Universitas Bombay (tahun 1980), Presiden AS John F Kennedy selaiu berusaha mempertahankan hubungan baik serta terus menjalin kontak. dengan sejumlah elite politik di Indonesia, melalui pemberian latihan militer serta dukungan kepada Operasi Karya yang sedang dilakukan ABRI di pedesaan.
Bantuan Pemerintah AS ke Indonesia sampai akhir tahun 1963 mencapai 60,9 juta dollar AS. Bahkan, sebelum akhir tahun 1960, AS telah mcmberikan bantuan berupa peralatan tempur untuk 43 batalyon TNI. Antara tahun 1956 sampai 1959, lebih dari 200 perwira Angkatan Darat tclah mengikuti pendidikan militer lanjutan di AS. Dengan demikian, sepertiga jumlah jenderal di MBAD (Markas Besar Angkatan Daral) dan separuh perwira tinggi Angkatan Darat niempakan didikan AS. Latihan serupa juga diberikan AS kepada Brigade Mobil Kepolisian, penanggung jawab utama keamanan dalam negeri.
Menurut Nawaz Mody, "Dengan demikian, meski di atas pennukaan hubungan Sukamo dan AS nampak semakin lama tambah memburuk, namun bantuan militer dari Amerika dalam beragam bentuk sebenarnya bertambah besar. Antara tahun 1962 sampai 1965 bantuan militer dari AS mencapai 35,8 juta dollar AS, jauh meningkat dari angka 29,5 juta dollar AS dari tahun 1949 sampai 1961. Dan jika sampai tahun 1958 hanya tercatat 250 perwira Angkatan Darat pernah mengikuti pendidikan militer lanjutan di AS, kemudian berlipat dua, naik menjadi 500 orang sampai tahun 1962, temyata pada tahun 1965 jumlah perwira militer yang sudah pernah dilatih AS sebanyak 4.000 orang, sebagian besar dari Angkatan Darat, dari polisi militer sampai perwira Rangers."
Hubungi Jenderal Harto
Rapat mendadak yang dipimpin Sarwo Edhie, dihadiri Mayor CI Santosa dan semua komandan kompi RPKAD, segera berlangsung di Tjidjantung. Selama pertemuan, Kolonel Sarwo sempat mengirim utusan menemui Brigadir Jenderal Moeng Parhadimoeljo, bekas Komandan RPKAD yang sedang menjalani cuti karena mengikuti pendidikan militer lanjutan. Sarwo Edhie meminta saran penanganan atas penculikan Jenderal Yani. Moeng menyarankan, "...hubungi Jenderal Harto karena menurut kebiasaan, kalau Pak Yani berhalangan, beliau menunjuk Soeharto mewakili...."
Salah satu keputusan strategis lain yang diambil Sarwo Edhie pagi itu, selain menyiapkan pasukan RPKAD di Tjidjantung untuk mulai mengejar para penculik, ditentukan bahwa mereka harus memakai identitas lengkap RPKAD, Baret Merah. Memberikan baret memang mudah, tinggal membongkar dari gudang serta membagikannya. Tetapi muncul kesulitan, kompi Tandjung hanya mempunyai seragam hijau-hijau TNKU.
Kendala tersebut dengan cepat diselesaikan Sarwo Edhie, "... celana lapangan hijau bukan persoalan. Tetapi bajunya? Masak RPKAD bertempur memakai seragam TNKU? Bagikan segera jaket loreng darah mcngalir, semua pasukan harus menyesuaikan din dengan kompi Tandjung." Berkat datangnya keputusan spontan tersebut, selama melakukan operasi menumpas Qerakan 30 Septem�ber, RPKAD tampil khas. Memakai Baret Merah, dipadu jaket loreng dan celana hijau. Jaket diperlukan untuk menyembunyikan identitas TNKU yang terpaksa dipakai kompi Tandjung.
Biografi Feisal Tandjung melukiskan, 'Tepat pukul 13.00 Letnan I Feisal Tandjung dan semua komandan kompi mendapat perintah dari Mayor CI Santosa agar berangkat menuju Markas Kostrad di Jalan Merdeka Timur, Jakarta. Mereka langsung di bawah pengawasan Kolonel (Inf) Sarwo Edhie. Perjalanan menuju Kostrad sangat lancar walau mereka di jalan sempat berpapasan dengan truk pengangkut pasukan bertanda pengena! pita merah-hijau di bahu kanannya...."
"Pukul 18.30 datang perintah dari Panglima Kostrad Jenderal Soeharto untuk membebaskan RRI dan Pusat Telekomunikasi. Sebenarnya, sejak pagi Panglima sudah ingin merebutnya, namun tidak dia lakukan untuk menghindari pertumpahan darah. Dia ingin merebut RRI secara diam-diam pada malam hari, saat Ibu Kota sudah relatif sepi."
"Sejak Jumat pagi pukul 06.30, para pendukung Gerakan 30 September telah menguasai RRI dan Pusat Telekomunikasi. Dari sini mereka melancarkan provokasi, propaganda, dan menyebarkan berita-berita bohong maupun fttnah dan hasutan. Pendudukan RRI dilakukan pasukan Kapten (Inf) Soeradi, Kepala Seksi I, yang berada di bawah komando Kolonel (Inf) Abdul Latief, Komandan Brigade Infantri I/Djaja Sakti, Kodam V/Djakarta. Untuk menjaganya, mereka memanfaatkan Batalyon Infantri 454/Para Diponegoro menduduki bagian utara lapangan Medan Merdeka Barat, sedangkan Batalyon 530/Para Brawidjaja berjaga mulai dari Museum Nasional ke arah selatan sampai Air Mancur, kemudian membelok ke timur, hingga Kantor Pusat Telekomunikasi."
"Panglima Kostrad memerintahkan, pembebasan RRI dan Pusat Telekomunikasi harus diupayakan jangan sampai memakai peluru tajam. Hindari Sejauh mungkin pertumpahan darah, kecuali jika memang amat terpaksa. Kepada anak buahnya, Kolonel Sarwo Edhie menekankan pesan dan perintah Panglima. Dalam melaksanakan perintah operasi pada Jumai sore tersebui, RPKAD menggerakkan liga kompi pasukan. Kompi Tandjung saya perintahkan merebut RRl kompi Urip saya minta merebut gedung Pusai Telekomunikasi. dan kompi lainnya bersiap di Markas Kostrad untuk menunggu perintah selanjutnya. kata Mayor (Inf) CI Santosa, Komandan Batalyon 1 RPKAD."
Feisal memperkirakan, untuk merebut RRI hanya periu satu peleton atau maksimal 30 orang, Sebab, dari laporan intelijen yang dia terima, gedung tersebut tinggal dijaga sepuluh Pemuda Rakjat. Untuk merebut RRI saya perintahkan Letnan Sintong Pandjaitan memimpin, Sintong, rebut RRI Tutup mulut mereka yang ngomong serta berteriak-teriak macam-macam, Hasilnya, laporkan kepada saya di Kostrad," kenang Feisal Tandjung.
Tugas tersebut ternyata bisa diselesaikan dengan cepat. Beberapa saat kemudian Sintong memberikan laporan, Tak, RRI sudah bisa kami rebut, tanpa pertawanan. Kami tunggu perintah selanjutnya...."
Sesudah RRI berhasil dibebaskan, Kepala Dinas Penerangan Angkatan Daral Brigadir Jenderal Ibnu Soebroto datang, membawa rekaman pidato Panglima Kostrad. Tepat pukul 19.20, suara Jenderal Soeharto mengudara
"...apa yang menamakan diri Gerakan 30 September telah membentuk apa yang mereka sebut Dewan Revolusi Indonesia. Mereka telah mengambil alih kekuasaan negara atau lazimnya disebut coup dari tangan Paduka Yang Mulia President Panglima Tertinggi ABRI Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, dan melempar Kabinet Dwikora kepada kedudukan demisioner, di samping mereka telah menculik beberapa perwira tinggi Angkatan Darat."
Seusai membebaskan RRI dan Pusat Telekomunikasi, pasukan RPKAD kcmbali berkumpul di Kostrad. Setelah persiapan selesai, Jenderal Soeharto memerintahkan Batalyon I/RPKAD dengan didukung Yon 328/Para Kostrad/Siliwangi, satu kompi tank dan satu kompi panscr Yon Kavaleri 7/Kodam Djaja dan Yon Kav-1/ Kostrad, mulai bergerak merebut Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusumah, yang diyakini Jenderal Soeharto sebagai pusat Gcrakan 30 September. Dalam melakukan penyerbuan, pasukan dibagi dua. Sebagian pasukan di bawah komando Mayor (Inf) CI Santosa masuk dari arah Kalimalang, sebetah utara landasan.
Sementara Koloncl (InO Sarwo Edhie, disertai induk pasukan, melakukan gerakan melambung, masuk ke Halim dari arah selatan.
Sebclum itu, lewat ajudan Presiden, Kolonel (KKO) Bamhang Widjanarko, Jenderal Soeharto telah memberikan peringatan agar Presiden segera meninggalkan Halim selambat-lambatnya pukul 24.00, "Mbang, saya hanya minta bantuanmu agar Bapak usahakan segera meninggalkan Halim...." Pernyataan pasukan RPKAD akan segera masuk unluk membebaskan Halim ternyata memenuhi saran Jenderal Nasution, yang waktii itu sudah ikut berkumpul di Kostrad, "Kita ini militer, mari kita selesaikan dengan cepat segala persoalannya. Masalah politis, laat maar aan de Ouwe Heer over."
Jumat malam pukul 23.30, hanya setengah jam sebelum deadline yang diberikan Jenderal Soeharto, lima mobil bergegas meninggalkan kompleks Halim Perdanakusumah. Agar tidak mencolok, Mangil, Komandan DKP (Detasemen Kawal Pribadi}, mengatur pemberangkatan secara bergelombang. Presiden naik mobil kedua, Prince B 3739 warna biru, didampingi Leimena, Wakil Pcrdana Menteri II. Di kursi depan duduk Bambang Widjanarko di samping Soeparto, staf ajudan sekaligus pcngemudi. Mobil Presiden mengikuti mobil pertama yang dinaiki Panglima Kepolisian Jenderal (Pol) Soetjipto Joedodihardjo berikut ajudan Presiden, Komisaris Besar (Pol) Soerairat, Di belakang mobil Presiden, jip DKP dengan penumpang Jenderal Sabur, Saelan, dan Mangil, diikuti jip DKP berisi pengawal pribadi Presiden. Konvoi ditutup mobil yang dinaiki Jaksa Agung bersama Wakil Jaksa Agung. Perjalanan ke Bogor malam itu sangat melelahkan karena jalan bebas hambatan Jakarta-Bogor masih belum ada sehingga konvoi melewati Parung, yang kondisi jalannya masih sangat buruk.
Menurut buku Dewan Revolusi PKI (tahun 2007):
"Begitu tiba di Bogor, Kolonel Saelan menelepon Mayor Jenderal Ibrahim Adjie memberi tahu bahwa Presiden telah tiba di Bogor, sebagai trugval basis yang menjadi wilayah Kodam VI/Siliwangi. Sementara itu, Kolonel (KKO) Bambang Widjanarko menghubungi Mayor Jenderal Soeharto lewat telepon, Laporan Pak, mission accomplished. Kami telah membawa Bapak Presiden keluar dari Halim. Sekarang Bapak sudah berada di Istana Bogor. Laporan selesai.
Jenderal Soeharto menjawab, "...terima kasih, Mbang."
RPKAD Membebaskan Halim
Alas saran Mayor (Infl CI Santosa, Sarwo Edhie memberi perintah manuver kepada pasukan Kavaleri di sepanjang Djakarta By Pass. Alasan taktisnya, mengalihkan perhatian lawan ke arah kota. Kemudian saat menjelang fajar, baru akan dilakukan serangan ke Halim dari arah samping. Menurut buku Terbaik untuk Rakyat, Terbaik bagi ABR1: "...mustahil melancarkan serangan dari arah sepanjang jalan raya Jakarta-Bogor, di mana terdapat Markas Brigade Mobil, Kavaleri, Komando Tempur Lintas Udara, dan Polisi Militer Angkatan Darat. Secara keseluruhan, pasukan-pasukan tersebut masih belum diketahui, mereka berada di pihak mana."
Berdasar pertimbangan di atas, kemudian dipuruskan, penyerangan akan dilakukan dari arah Klender. Selanjutnya, kepada semua komandan pasukan diberi briefing, penyerangan harus dilakukan serentak dan harus diusahakan tidak merusak daerah sasaran semisal hanggar pesawat. Kalau yang menjadi sasaran pesawat terbang, harus ditembak bannya agar pesawat tidak bisa mengudara. Tembak-menembak sejauh mungkin dihindarkan, meminimalkan korban berikut kerugian material.
Pukul 06.00 tanggal 2 Oktober, secara serentak semua kompi RPKAD, kecuali kompi cadangan, menyerang Halim, sesuai sasaran masing-masing. Hanya dalam waktu lebih kurang 10 menit, seluruh penyerang berhasil melaksanakan tugas serta bisa menguasai sasaran, praktis tanpa mendapat perlawanan. Letnan I (Inf) Feisal Tandjung, yang pagi itu memimpin anak buahnya menyerbu Halim, melukiskan: "Lawan terkecoh dengan melakukan opstelling ke arah kota. Mereka terpancing manuver Yon 328/Para, kompi tank, dan kompi panser di Jalan Djakarta By Pass, sama sekali tidak menyadari bahwa akan diserang dari belakang."
"Setelah Halim bisa direbut, kompi-kompi penyerang melakukan konsolidasi. Pukul 10.00 pagi, Kolonel Sarwo Edhie mengatakan akan ke Koops AURI di Halim untuk menemui Bung Karno karena menurut informasi Presiden masih berada di sana. Demi alasan keamanan, Mayor Santosa menyarankan agar Sarwo memilih jalur yang sudah dikuasai RPKAD sehingga bisa terjamin keamanannya. Tapi saran saya ditolak. Komandan ingin cepat sampai. Dengan naik jip, kendaraannya melalui Pondok Cede, membelok ke kanan, menuju Koops Halim, Karena jalan tersebut belum katni kuusai sava perintalikan kompi panser untuk memberi pengawalan."
Apa yang dikhawatirkan Santosa temyata terjadi.
Setelah Sarwo melewati Pondok Gede, terjadi kontak senjata dengan para pemberontak yang sedang berusaha melarikan din. Dalam pertempuran ini, seorang pengawal Sarwo Edhie gugur. Santosa kembali menganjurkan agar Sarwo bersedia lewat jalur yang sudah di-sterilkan RPKAD. Kali ini Sarwo tidak lagi menolak. Tetapi, setibanya di Koops Halim, ternyata Presiden sudah tidak ada karena sudah meninggalkan Halim menjelang tengah malam. Oleh karena itu, bersama Mayor (Inf) Gunawan Wibisono, Sarwo Edhie dengan helikopter terbang ke Bogor.
Penerbangan, yang karena belum melapor serta minta izin dari Jenderal Soeharto, kemudian berbuntut panjang. Memancing kecurigaan, mengapa Sarwo Edhie terbang ke Bogor bersama para perwira tinggi AURI? Apalagi, mereka naik helikopter Kepresidenan Sikorsky S-61 V serta diterbangkan oleh ajudan Presiden, Kolonel (Udara) Kardjono? "...mengapa dia bergegas ke Bogor, untuk apa?" demikian komentar Letnan Kolonel (Inf) All Moertopo ketika memberikan informasi kepada Soeharto di Markas Kostrad.
Wisnu Djajengminardo, Komandan PAU Halim Perdanakusumah. dalam buku Kesaksian (tahun 1997) menjelaskan: "Sekitar pukul 06.30 saya terima laporan. RPKAD sudah berada di perbatasan Halim, di sekitar Pondok Gede. Saya menemui Laksamana Sri Moeijono Herlambang di Markas Koops untuk mendapatkan instruksi. Mengapa dia? Oleh karena Sri Moeijono perwira paling senior setelah Panglima AURI dan Panglima Koops dini hari Sabtu 2 Oktober terbang meninggalkan Halim. Herlambang memberi perintah, Hentikan tembak-menembak, mereka bukan musuh kita."
"Maka saya lantas memerintahkan seorang letnan PGT (Pasukan Gerak Tjepat) meneruskan perintah eease fire kepada PPF (Pasukan Pertahanan Pangkalan). Meski memang kenyataannya. sudah telanjur jatuh korban, dua PGT yang sedang menjaga gudang minyak tewas ditembak...."
"Sekitar pukul 06.30, Deputi Operasi Komodor Udara Dewanto terbang di atas Halim untuk mengamati posisi RPKAD. Sesudah dia bisa pin point kedudukan mereka, dia mendarat dan dengan naik jip berusaha menemui Kolonel Sarwo Edhie. Ujung tombak RPKAD berada di Jalan Pondok Gede, menuju arah barat, sementara sisa Batalyon 454/Para Diponegoro akan pulang menuju ke arah timur, di jalan yang sama...."
"Untuk menghindari head on collision, Komodor Dewanto memanggil Kolonel Sarwo Edhie, dan bersama para komandan pasukan mereka menuju Koops untuk menemui Laksamana Sri Moeljono. Kolonel Sarwo nampaknya hanya ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa tidak ada orang-orang atau pasukan komunis di Kompleks Halim. Akhirnya AUR1 sepakat mengizinkan RPKAD masuk Halim...."
"Kira-kira pukul 11.00 masuk laporan, ada satuan panser mcndekati Halim. Mereka sudah berada di depan Pabrik Ban Intirub, dipimpin Brigadir Jenderal Soebiantoro, teman lama saya sejak masa pendudukan Jepang di Surabaya. Dia mengirim caraka, meminta saya menemuinya. Saya segera membalas pesannya, Silakan Jenderal masuk Halim menemui saya. Tapi tak usah naik panser, saya jamin tidak bakal terjadi apa-apa."
Dalam kesaksiannya, Wisnu Djajengminardo menjelaskan, "Sekitar pukul 19.00 Sabtu sore, RPKAD mulai meninggalkan Halim. Saya sempat melihat Mayor CI Santosa melambai-lambaikan tangan sambil tertawa lebar. Saya merasa, kami berdua sama-sama merasa lega dan bersyukur bahwa tidak terjadi sesuatu yang dapat kami sesalkan di kelak kemudian halt..."
"...tidak ada perebutan Halim, tidak ada pendudukan Pangkalan Udara Halim oleh pasukan mana pun. Di sana juga tidak ada pasukan komunis. Yang ada, awak pesawat dalam keadaan siaga, membiarkan Baret Merah masuk lalu lalang di hanggar dan landasan. Jangan pula dibayangkan bahwa di Halim, PGT dalam jumlah besar sedang bersiap-siap menghadang dengan membawa senapan siap tembak...."
"Now it can be told, nama besar PGT dulu itu hanya didukung personel sebanyak tiga kompi. Seperti umumnya pasukan elite di negara mana pun, personelnya sangat terbatas sekaligus selektif. Itu pun sebagian besar kekuatan PGT berada di Pangkalan Udara Margahaju, Bandung, sedangkan sisanya tersebar di berbagai pangkalan setelah mereka melakukan opcrasi penerjunan secara bemntun, menumpas PRRI/Permesta, Trikora, kemudian Dwikora."
Setelah Lima Belas Tahun
"Pak, Pak Sarwo ada di TV, ada Jenderal Sarwo Edhie...," teriak anak-anaknya, riuh rendah sewaktu mereka menonton tayangan langsung, wawancara WRI dengan Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo.
Hari Rabu, 5 Oktober I960, Brigadir (Pol) Sukitman baru saja pulang ke rumah setelah selesai mengikuti peringatan Hari ABRI XXXV di Cilegon, Jawa Barat. "Saya sedang sibuk mencuci motor ketika tiba-tiba anak saya berteriak-teriak memanggil. Dengan kaus masih basah, saya lari ke ruang tamu," kenang Sukitman.
Dia persis sampai di depan TV ketika Sarwo Edhie mengucapkan kalimat berikut, "Satu-satunya orang yang menemukan serta menunjukkan kepada anak buah saya, seorang anggota polisi. Namanya Sukitman, pangkatnya agen polisi tingkat II. Hanya tugasnya sekarang di mana, saya sendiri tidak tahu meski sudah saya can selama bertahun-tahun. Tetapi, ...kalau dia waktu itu tidak ngomong di mana sumumya, entah kapan ketemunya jenazah Pak Yani dan teman-temannya."
Sukitman mengakui, "Terus terang, saya senang karena nama saya masuk TV. Tetapi, yang justru sangat mengharukan, temyata Pak Sarwo masih tetap ingat kepada din saya setelah sekian tahun berlalu. Maka saya putuskan segera menghadap beliau...." Esoknya, Sukitman berangkat ke Gedung Departemen Luar Negeri di Pejambon karena waktu itu Sarwo Edhie sudah pensiun dari dinas militer dan bertugas sebagai Inspektur Jenderal Deparlu.
Sukitman melukiskan adegan ketika dia kembali bertemu dengan Sarwo Edhie setelah 15 tahun berpisah. "Saya ketuk pintu kamar kerja beliau, pintu terbuka, saya masuk sambil mengatakan, Nama, Sukitman, lapor, datang untuk menghadap...."
"Pak Sarwo melepas kacamatanya, mengamati sebentar, segera berdiri dan langsung memeluk saya dengan erat, ...sangat erat"
Minggu siang, 3 Oktober 1965, Sukitman dibawa ke kamar kerja Kolonel (Inf) Sarwo Edhie di Tjidjantung. Anggota Angkatan Kepolisian Seksi VIII, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tersebut menemui nasib malang sejak dini hari Jumat 1 Oktober. Dia yang sedang melakukan patroli bersepeda di sekitar Jalan Iskandarsjah tiba-tiba disergap, senjata dan sepeda dinas merek Phoenix-nya dirampas. "Saya diikat, mata ditutup, dilemparkan ke atas truk dan dibawa pergi entah ke mana."
Maka jadilah dia the wrong man on the right place. Sebab, pada hari Jumat dini hari nahas tersebut, tanpa sengaja dia ikut terciduk oleh komplotan Gerakan 30 September yang baru saja menyerbu kediaman Jcnderal Pandjaitan, Asisten IV/Panglima Angkatan Darat. Pcnyerbuan yang berlangsung dengan sangat brutal. Pandjaitan langsung diberondong tembakan membabi buta, yang selain menewaskan dirinya juga membunuh seorang kemenakannya.
Tetapi, di sisi lain, karena Sukitman terbawa ke Lubang Buaya dan berada di sana ketika para korban penculikan yang masih hidup kemudian di-film-kan, maka dia menjadi saksi mata satu-satunya, orang luar yang berada di lokasi pembunuhan. Oleh karena itu, dia bisa menunjukkan dengan tepat lokasi sumur tempat tujuh korban penculikan dibuang.
Mimpi buruk Sukitman berakhir hari Sahtu sore 2 Oktober. Merasa capai sekaligus kesal, setelah selama dua malam tanpa istirahat dan tidur, karena tanpa sengaja masuk pusaran peristiwa serta terombang-ambing ke sana kemari, dia mencoba tidur di kolong truk milik G30S.
Sukitman ternyata tertidur pulas. Dia dibangunkan prajurit RPKAD. Begitu matanya membuka, tidak ada lagi seorang pun pasukan G30S di sekelilingnya. Mereka telah kabur sebelum kompi Tandjung menyerbu Lubang Buaya, tempat penjagalan tujuh perwira Angkatan Darat, korban Gerakan 30 September.
"Paginya saya dibawa keTjidjantung, diajak menghadap Kolonel Sarwo Edhie. Perasaan saya tidak karuan. Karena baru saja mengalami peristiwa begitu dahsyat, masih belum sempat beristirahat, malah diajak ke Tjidjantung. Apa tidak copot jantung saya," kenang Sukitman.
"Temyata ketakutan saya tidak beralasan. Pak Sarwo Edhie menegur saya dengan sangat ramah. Kemudian minta diceritakan seluruh pengalaman saya selaraa tiga hari terakhir. Beliau juga minta saya menggambar di papan tulis, denah lokasi tempat saya disekap."
"Semula saya menolak. Saya merasa tidak mampu sebab hanya polisi dengan pangkat paling rendah. Tetapi, beliau membesarkan semangat dengan berkata, Sukitman, semua orang sekarang ini tinggal menggantungkan harapan satu-satunya kepada dirimu. Kalau kamu tidak mau ngomong, usaha kita dalam mencari Jenderal Yani dan semua korban penculikan past! bakal gagal...."
Biografi Jenderal Feisal Tandjung (tahun 1999) melukiskan:
"Berdasar denah dari Sukitman, Mayor CI Santosa memerintahkan kompi Tandjung berangkat ke lokasi bersama Wakil Komandan Batalyon 1/RPKAD Mayor (Inf) Sumardji. Sejak pukut 09.00 mereka mulai mencari jejak. Setiap gundukan tanah yang mencurigakan langsung digali- Semak belukar dan semua rumah di lokasi tersebut diperiksa. Menjclang siang, Mayor Santosa datang membantu. Tiba-tiba kakinya menginjak tanah gembur, berbeda kondisinya dengan tanah yang ada di sekelilingnya. Melihat ini, Feisal memanggil Sintong Pandjaitan, ...gali di tempat ini, sedalam-dalamnya."
Menjelang sore, setelah penggalian mencapai kedalaman sekitar sepuluh meter, para anggota RPKAD mulai merasa bahwa sumur tersebut memerlukan pemeriksaan lebih cermat. Apalagi, ketika sudah tampak satu potongan kaki. Tetapi saat itu muncul kendala, lubang sumur semakin dalam ternyata tambah menyempit serta kemungkinan adanya gas beracun sehingga untuk terus melakukan penggalian, diperlukan masker pelindung. Mayor Santosa kemudian berkomunikasi lewat radio dengan Sarwo Edhie yang menunggu di Tjidjantung, melaporkan situasi di Lubang Buaya.
"Terima kasih, kalian telah melakukan tugas dengan baik. Laporan akan saya teruskan kepada Pak Harto...," demikian jawaban Sarwo Edhie.
Beberapa saat kemudian, Sarwo memberi petunjuk, "...hentikan penggalian, lanjutkan besok pagi. Panglima Kostrad akan iangsung memimpin pengambilan jenazah. Beliau akan datang ke lokasi pukul 09.00." Selain itu, dia juga memerintahkan, "...amankan lokasi, nyatakan sebagai daerah tertutup."
Sebelum senja hadir di Lubang Buaya, Kolonel Maulwi Saelan, Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, muncul di dekat lokasi bersamapara dokter AURI. Mayor Santosa segera berdiri menghadang, "Mengapa Tuan-tuan datang ke sini? Untuk keperluan apa?"
Saeian menjawab, "...atas perintah Panglima Tertinggi, hari ini juga penggalian serta pengangkatan jenazah supaya diselesaikan...."
Santosa menukas, "Saya yang bertanggung jawab di sini. Saya tidak akan melaksanakan perintah siapa pun, kecuali perintah komandan saya, Kolonel Sarwo Edhie, Saya harap Tuan-tuan segera menyingkir...."
Menunit versi biografi Maulwi Saelan (tahun 2001): "Saining agen poiisi dalam kondisi bingung ditemukan patroli Resimen Tjakrabirawa di depan Kantor Penas di By Pass, Jakarta fimur, siang hari langgal I Oktober 1965. Dia mengaku bernama Kitman, kemudian dibawa ke Markas Tjakrabirawa, di sebelah Istana Negara (sekarang Gedung Bina Graha) untuk diinterogasi. Ternyata, sewaktu penculikan para jenderal, agen poiisi tersebut sedang bertugas. kemudian ditahan dan dibawa ke Lubang Buaya. Dia berhasil meloloskan diri dan akhimya ditemukan patroli Tjakrabirawa. Tanggal 2 Oktober, hasil pemeriksaan Kitman diserahkan ke Kodam V/Djaja dan oleh Kodam cliteruskan ke Kostrad."
'Tanggal 3 Oktober pagi saya menghadap Presiden, memberi laporan perkembangan terakhir, termasuk ditemukannya Kitman. Presiden nierasa sedih atas nasib para Jcnderal yang diculik, khususnya kepada Jenderal Yani, jenderal yang paling dia sayangi. Karena keberadaannya masih belum jelas, Presiden memerintahkan untuk terus mencari tahu nasib mereka."
"Setelah mempelajari keterangan Kitman, saya bersama Letnan Kolonel Ali Ebran dan Sersan Udara Poniran dengan naik jip Toyota Tjakrabirawa No. C-2 berangkat ke Halim. Melapor kepada perwira piket, Kolonel (Udara) Tjokro. Kami kemudian dibantu seorang letnan muda AUR1 untuk bisa mcncmukan lokasi yang diceritakan Kitman. Pada masa itu, semua jip Tjakrabirawa selalu dilengkapi satu set generdtor listrik berkekuatan 1 PK, yang sewaktu-waktu dapat digunakan, mengingat aliran listrik di Jakarta saat itu sering mati-hidup."
"Di Lubang Buaya kami temukan sebuah rumah kecil, dekat sebuah pohon besar. Segera dilakukan pencarian. Tanpa sengaja ditemukan sebidang tanah yang sudah tidak digunakan, namun terlihat tanda-tanda mencurigakan, seperti baru dipakai. Di tempat itu, tumpukan daun-daunan segera kami korek-korek dan tidak berapa lama terlihat pemmkaan sebuah sumur tua. Oleh karena kami tidak membawa peralatan untuk menggali tanah, saya meminta bantuan rakyat melakukan penggalian. Tidak berapa lama, muncul pasukan RPKAD dipimpin Mayor CI Santosa dengan membawa Kitman. Bersama mereka juga ikut ajudan Jenderal Yani, Soebardi...."
"Setelah mendapat penjelasan dari kami sekaligus dicocokkan dengan keterangan Kitman, penggalian dilanjutkan. Temyata, penggalian kemudian semakin sulit oleh karena lubang sumur hanya cukup unluk satu orang sehingga memakan waktu lama. Hari mulai gelap, tetapi belum ditemukan tanda-tanda mencurigakan. Generator milikTjakrabirawa dihidupkan untuk memberi tambahan penerangan selama penggalian dilanjutkan. Lewat tengah malam mulai tercium ban tidak sedap setelah penggalian semakin dalam."
"Akhimya. ditemukan sepotong tungan. Penggalian terpaksa dihentikan karena kami sudah mulai tJdak tahan dengan bau yang keluar dari dalam sumur. Setelah berunding dengan Mayor CI Santosa, kami berdua sepakat melaporkan kepada Jenderal Soeharto, PangUnia Kostrad, menunggu instruksi lanjutan. Sebab, untuk bisa melanjutkan penggalian, diperlukan tenaga berikut peralatan khusus, seperti yang dimiliki pasukan katak KKO. Pada saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 03.00...."
"Rombongan saya pulang untuk shalat suhuh dan istirahat, apalagi saya mulai nierasa kena flu. Selanjutnya, saya perintahkan Letnan Kolonel Marokeh Santosa, Kepala Staf Resimen Tjakrabirawa, mewakili saya. Dengan demikian, sama sekali tidak benar berita yang mengatakan, Presiden Sukarno mengetahui mengenai penculikan termaksud. Begitu juga tidak benar, ada perintah dari Presiden kepada diri kami untuk menghilangkan jejak para jenderal yang telah diculik...."
Maulwi Saelan menegaskan, "Presiden Sukarno sama sekali tidak tahu mengenai aksi penculikan pada dini hari tanggal 1 Oktober. Justru, Presiden baru tahu mengenai penculikan setelah kami cegat dalam perjalanan menuju Istana Merdeka, yang kemudian kami belokkan di simpang empat Air Mancur pojok Lapangan Monas sehingga beliau overrompelt, terperangah...."
"...tuduhan tidak benar terhadap Presiden sudah saya alami sejak dalam tahanan dan diperiksa Teperpu (Team Pemeriksa Pusat). Malahan BAP (berita acara pemeriksaan) yang sudah disiapkan pemeriksa dan tinggal ditandatangani dengan jelas menuduh Presiden Sukarno terlibat. Hanya seorang dari kami, Kolonel (KKO) Bambang Widjanarko, bersedia menandatangani BAP hasil rekayasa tersebut. Saya, dan semua kolega lain, dengan tegas membantah pengakuan Bambang...."
Keterlibatan Oknum AURI
Harian Berita Yudha tanggal 5 Oktober 1965 menulis berita utama dalam judul: Hari ini Para Pahlawan TNIJAD Menudju Peristirahatan Terakhir:
"Selesai pcnggalian para jenderal dan perwira pertama TNI/AD di Lubang Buaya, Pondok Gede, Kecamatan Pasar Rebo, dengan penuh keharuan tap! tegas Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto menandaskan bahwa dengan penggalian jenazah-jenazah mi, jelaslah bagi kila yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa kejamnya aniaya yang telah dilakukan oleh petualang-petualang biadab, dan apa yang dinamakan Gerakan 30 September."
"Ketujuh jcnazah para Pahlawan TNI/AD itu, enam orang jenderal dan seorang perwira pertama, diketemukan dalam keadaan rubuh yang jelas penuh siksaan. Bekas-bekas luka di sekujur tubuh akibat siksaan sebelum ditembak masih membalur tubuh Pahlawan-pahlawan kita."
"Lebih jauh Panglima Kostrad menekankan bahwa melihat tempat di mana jenazah-jenazah itu diTemukan, yakni Lubang Buaya, daerah ini jelas merupakan bagian dari daerah Pangkaian Udara Halim. Satu fakta lagi, kata Mayor Jenderal Soeharto, melihat sumur yang digunakan untuk menanam mayat ini pula telah menjadi pusat daerah latihan sukarclawan/sukarelawati yang dilaksanakan oleh AURI. Mereka terdiri dari Pemuda Rakjat dan Gerwani. Mungkin mereka itu dalam rangka latihan pertahanan Pangkaian, tapi dengan tertangkapnya seorang anggota Gerwani di Tjirebon yang berasal dari Jawa Tengah, teranglah mereka berasal jauh dari tempat ini."
"Dengan fakta-fakta ini, kata Mayor Jenderal Soeharto, mungkin apa yang diamanatkan oleh Presiden kita yang tercinta Bung Karno, bahwa AURI tidak terlibat, mungkin ada benarnya. Tapi tidaklah mungkin kalau tidak ada hubungan antara oknum-oknum anggota AURI dengan peristiwa pembunuhan yang kejam ini."
"Kemudian dengan nada penuh keharuan tapi penuh keyakinan dan juga harapan, Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto sebagai warga anggota Angkatan Darat mengetuk jiwa dan perasaan daripada patriot-patriot anggota AURI. Apabila ada oknum-oknum yang terlibat dalam pembunuhan jenderal-jenderal tidak berdosa ini, mudah-mudahan para patriot AURI akan membersihkan anggota-anggota AURI dari petualang-petualang yang terlibat."
"Menutup keterangannya siang itu, Mayor Jenderal Soeharto akhirnya mengucapkan rerima kasih dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang pada akhirnya menunjukkan kepada kita bahwa semua tindakan yang ridak jujur dan tidak baik pasli akan tertindas. Penghargaan tinggi diberikan kepada RPKAD, KKO, satuan-satuan lain, dan rakyat, yang telah membamu usaha penggalian jcnazah para jenderal. Hadir pula dalam penggalian jenazah para jenderal yang jadi korban kaum kontra-Revolusi Gerakan 30 September; Direktur-Direktur Dirin, Diral, Dirpom, Dirzi, Dirpang, Dirkes, Tjakra, Ka Puspen AD, dan wartawan-wartawan alat Revolusi."
"Para Pahlawan TNI/AD yang hari ini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata: YM Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Achmad Yani, Deputi III Mayor Jenderal MT Harjono, Asisten I Mayor Jenderal S. Parman, Deputi II Mayor Jenderal Soeprapto, Inspektur Kehakiman Angkatan Darat/Oditur Brigadir Jenderal Sutojo Siswomihardjo, Asisten IV Brigadir Jenderal DI Pandjaitan, dan ajudan Menko Hankam/Kasab Letnan I Czi Pierre Tendean."
Pcmyataan Jenderal Soeharto bahwa mayat para jenderal korban penculikan ada tanda-tanda telah mengalami penyiksaan segera dimanfaatkan untuk kampanye menghantam Gerakan 30 September. Selama bcbcrapa hari, Pusat Penerangan Angkatan Darat menjejali media massa dengan foto, berita, bcrikut ulasan yang isinya menyudutkan komptotan penculik. Dilengkapi dengan beragam cerita rekayasa, mulai dari mata korban dicungkil sampai daging korban disayat-sayat dengan pisau silet. Benarkah mereka disiksa?
Dalam majalah D&R edisi bulan Oktober 1998, Prof. Dr. Arif Budianto mengatakan, "...kalau dikatakan sama sekali tidak ada penyiksaan, juga tidak betul. Mayat-mayat tersebut berkali-kali ditembaki. Pergelangan tangan mayat Jenderal Harjono hancur karena bebatan perekat yang direkat kuat serta diikat sejak dari Lubang Buaya. Saya tidak percaya, mayat yang hanya dijatuhkan ke dalam sumur bisa mengalami hancur pergelangannya semacam itu. Kepala Jenderal Soetojo pecah. Itu juga kami tak bisa bilang karena penyiksaan karena kami tidak ada di sana. Tetapi yang jelas, itu akibat dari luka tembak. Seluruh korban itu disimpulkan meninggal karena terkena luka tembak...."
Pemeriksaan mayat enam perwira tinggi serta seurang perwira remaja korban periculikan Gerakan 30 September berlangsung di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) sejak Senin malam tanggal 4 Oktober 1965 setelah ketujuh mayat tersebut beberapa saat tiba dari Lubang Buaya. Tim pemeriksa dipimpin Direktur RSPAD Brigadir Jenderal Prof. dr. Roebiono Kertopati, beranggotakan gabungan Tim Kedokteran ABRI dengan FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia); Prof. Soctomo Tjokronegoro, dr. Frans Padassina, dr. Ferry Liauw Van Siang, dan dr. Liem Joe Thay, yang kini lebih dikenal dalam nama Prof. Dr. Arif Budianto.
"Saya kebagian mcmeriksa mayat Jenderal Yani, Soetojo, dan Harjono. Saya masih mengenali pakaian Jenderal Yani. Dia memakai piama loreng-loreng biru-putih-biru. Kcnieja piamanya penuh pecahan kaca sebab dia ditembak di depan pintu kaca di rumahnya. Itu sebabnya pecahan kacanya bcrhamburan ke mana-mana. Kami bekerja sepanjang malam sampai Selasa dini hari tanggal 5 Oktober. Kami tanyakan wakru itu, apakah mayat para jcnderal akan diotopsi secara lengkap atau tidak? Semua jenderal yang hadir, termasuk Pak Harto, bilang, tidak usah...," kata Prof. Arif Budianto.
Ditambahkannya, "Satu lagi, seal mala yang di-congkel. Memang, kondisi mayat ada yang bola matanya copot, bahkan ada yang sudah kontal-kantil. Tetapi itu karena sudah tiga hari terendam air di dalam sumur dan bukan karena dicongkel paksa. Saya sampai periksa ulang dengan saksama tepi matanya dan tulang-tulang sekitar kelopak mata. Apakah ada tulang yang tergores? Temyata tidak ditcmukan...."
Visum para korban penculikan tersebut memang tidak diumumkan kepada masyarakat. Meski demikian, koran Berita Yitdha dan juga Angkatan Bersenjata terus-menerus mcmuat berita dan foto jenazah dengan keterangan terjadinya penyiksaan. Bahkan, pada edisi 26 Oktober 1965, Berita Yudha memuat berita di halaman satu dengan judul Alat Tjukil Mata Ditemukan di Garut. "Peralatan pencukil mata yang sedianya akan digunakan oteh antek-antek G30S apabila mereka berhasil, telah ditemukan oleh para demonstran di sebuah rumah anggota PKI, Hua Panggung, di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Di tempat lainnya juga diketemukan pistol berikut pelurunya. Demikian diterangkan oleh pihak berwajib...."
Bulan September 1999, seminar bertajuk "Memandang Tragedi Nasional 1965 Secara Jernih" dilangsungkan di Kampus Puspitek, Serpong. Laporan mingguan Tempo (Oktober 1999} menyehutkan:
"...dari riset kepustakaan, pengamat sosial Stanley menyimpulkan bahwa secara jurnalistik, penggambaran tentang pembunuhan serta kekejaman PKI di situ sulit dipertanggungjawabkan. Berita tersebut bertentangan dengan prinsip liputan dua sisi (cover bothsides), keberimbangan laporan (balancing of reporting), dan prinsip dasar pengecekan ulang (check and recheck)," tulisnya.
"Sulit dipcrtanggungjawabkan, tapi sukses sebagai bagian dari propaganda anti-PKI. Berita semacam itu puta yang dimuat oleh harian Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata, dua koran milik Angkatan Darat yang kemudian dikutip oleh berbagai surat kabar dengan berbagai imbuhan yang membuat para pembacanya mual, marah, dan bergidik sekaligus. Gelombang pcmbantaian besar-besaran tcrhadap anggota PKI dan para simpatisan PKI - rakyat kebanyakan ikut terlibat�bisa dijelaskan dari perasaan umum yang digalang melalui berita resmi tersebut."
"Berita resmi itu pula yang belakangan menjadi sejarah resmi sepanjang pemerintahan Orde Baru, termasuk menjadi bahan pcnting penggambaran sutradara Arifin C. Noer dalam film Pengkhianatan G30S/PKI."
Bagaimana berita resmi sangat menghebohkan termaksud muncul?
"Sunario Sunarsal, Redaktur Berita Yudha yang membawahi rubrik pertahanan dan keamanan waktu itu, mengaku tidak tahu-menahu cara para wartawannya memperoleh informasi mcnyangkut peristiwa Lubang Buaya. Namun, dia masih ingat cara kerja para wartawan dan redaktur di situ serta sentimen umum kala itu."
"Suatu malam, 4 Oktober 1965, menurut Sunario, Brigadir Jenderal Ibnu Subroto, Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat sekaligus Pemimpin Redaksi Berita Yudha, mengimbau wartawannya agar menulis berita Peristiwa G30S sedemikian rupa demi membangkitkan semangat anti-PKI pada rakyat. Imbauan itu perintah, kata Sunario yang juga menggambarkan kondisi emosi para wartawan, yang ikut terhanyut semangat anti-PKI."
"Perintah dan emosi yang sama benemu sehingga para wartawan melupakan satu fakta penting, hasil visum tim dokter yang diketuai Brigadir Jenderal dr. Roebiono Kertopati atas mayat korban. Menurut visum itu, kelamin scmua jenazah utuh dan bola mata yang copor bukan karena di-cungkil, tapi akibat jenazah di-cemplung-kan ke sumur dalam posisi kepala di bawah. Disertasi peneliti Saskia Elcnora Wieringa di Universitas Amsterdam tahun 1995, yang mewawancarai saksi mata seputar peristiwa Lubang Buaya, juga telah meruntuhkan bangunan fiksi tersebut...."
Harian Berita Yudha selalu memuat laporan secara rinci mengenai kegiatan ABRI dalam menumpas Gerakan Kontra Revolusi Gestapu:
Tanggal 3 Oktober 1965, sebagian dan Yon 454 telah kembali dikonsolidasikan, sedangkan sisanya yang masih ikut petualang mengundurkan din ke Tambun. Pengejaran scgera dilakukan, hasilnya 237 orang menyerah tanpa membawa korban. Pukul 17.15 RPKAD menemukan tempat pembunuhan enam perwira unggi dan seorang perwira pertama Angkatan Darat sekaligus menemukan lubang sumur ma yang digunakan para petualang untuk melempar ketujuh Pahlawan terscbut.
Tanggal 4 Oktober 1965 dilakukan penggalian serta pengangkatan jenazah-jenazah yang telah disembclih petualang Gestapu dan dalam lubang sumur tua, sedalam 12 meter dengan garis tengah 3A meter, terletak di Lubang Buaya dalam daerah Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah. Pukul 15.00 semuajenazah selesai ditemukan dan diberangkatkan ke RSPAD.
Pukul 20.00 laporan dan Kodam VI/Diponegoro, sejumlah perwira telah terlibat dalam petualangan Gestapu:
Kolonel Suhemian, Asisten I Kepala Staf Diponegoro; Kolonel Marjono, Asisten III; Letnan Kolonel Idris, Kepala Staf Resimen 73; Mayor Suherman, Asisten V; Mayor Karsidi, Waki! Asisten II; Mayor Kartawi, Kasi !I Korem 72; Mayor Muljono, Kasi V Korem 72; Mayor Subadhi, Kasi III Korem 73; Kapten Supeno dari Korem 73. Sedangkan yang diculik oleh Gestapu di Jawa Tengah: Kolonel Katamso, Komandan Resort Militer 72; Kolonel Sukardi, Komandan Resort Militer 73; Letnan Kolonel Sugiono, Kas Rem 72; dan Kapten Achmad, Kepala Penerangan Rem 72.
Tanggal 5 Oktober 1965, upacara pemakaman jenazah tujuh Pahlawan Revolusi di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sejalan dengan itu, pembersihan di daerah Tjibinong telah berhasil menangkap tiga anggota AURI dan seorang prajurit Batalyon 530 yang ikut serta dalam petualangan.
Tanggal 7 Oktober, pemakaman jenazah Ade Irma Surjani, putri Jenderal Nasution sebagai korban teror Gestapu.
RPKAD Masuk Jawa Tengah
Komandan RPKAD Kolonel (Inf) Sarwo Edhie Wibowo bersama pasukannya, dikawal Letnan n (Inf) Sintong Pandjaitan, sampai di Semarang pukul 13.30 tanggal 19 Oktober 1965. Mereka langsung mengikuti briefing di Markas Kodam VII/Diponegoro. Dalam briefing tersebut Bngadir Jenderal Soerjosoempeno mengakui bahwa beberapa asistennya terlibat dalam Gerakan 30 September. Oleh karena itu, dia mengharapkan peran serta RPKAD tidak hanya dalam menumpas massa pendukung G30S, tetapi juga membantu mengadakan konsolidasi di bidang politik. Panglima memberikan pesan kepada para anggota RPKAD, sewaktu melakukan operasi di Jawa Tengah sebaiknya memakai prinsip "ambil ikannya, jangan sampai keruh airnya".
Malam itu juga, mulai pukul 23.00, berbagai tempat di Semarang yang dicurigai sebagai lokasi persembunyian para pengikut G30S digerebck. Operasi pembersihan gelombang pertama berhasil menciduk 1.050 orang yang terlibat. Tetapi, suasana selama operasi beriangsung sangat mencekam karena sejumlah anggota Pemuda Rakjat berani melakukan perlawanan dengan memprovokasi pembakaran toko-toko milik warga keturunan.
Setelah suasana di Semarang bisa dikendalikan, pukul 21.00 tanggal 21 Oktober, sebagian pasukan RPKAD bergerak menuju Magelang. Tiga kompi, di bawah pimpinan Wakil Komandan Batalyon I1I/RPKAD Mayor (Inf) Soebechi, ditinggalkan di Semarang. Begitu sampai di Magelang, RPKAD langsung melakukan show of forces keliling kota. Masyarakat setempat yang selama dua minggu terakhir tercekam ketakutan, karena Wali Kota Magelang Argo Ismoyo secara kebetulan tokoh PKI, mclepaskan kekesalan had mereka dengan membakar berikut menjarah bangunan milik PKI, Baperki, CHTH, serta organisasi kin lainnya.
Hasil observasi wilayah Kodam VII/Diponegoro oleh Pusat Penerangan Angkatan Darat menyebutkan: "...sampai tanggal 19 Oktober 1965. sebelum RPKAD datang, masyarakat masih diliputi oleh keragu-raguan, temtama bila metihat kenyataan yang diperbuat instansi militer setempat. Pada saat itu pula seolah-olah terjadi pemisahan front antara para pejabat daerah setempat plus parpol dan ormas yang kontra-G30S dengan golungan yang jelas membantu G30S. Titik tolak pelancaran aksi-aksi pembakaran, pencullkan, dan yang lain pada sekitar 19 sampai 20 Oktober 1965. persis saat RPKAD datang di Jawa Tengah...."
Tanggal 20 Oktober terjadi pembakaran bangunan-bangunan milik PKI, Baperki, dan (oko-toko Tionghoa yang dilakukan oleh massa nasionalis dan agama. Berawal dari Semarang, kemudian meluas ke Magelang, Solo, Klaten, dan Bojolali.
Tanggal 21 Oktober pukul 18,00, Bojolali, Tjepogo, dan Ampd dtserang massa Kontra Revolusi.
Tanggal 22 Oktober Markas Batalyon Dodik V Klaten diserang massa Kontrev, tetapi dapat digagalkan. Jumlah korban setiap hari terus-menerus bertambah, terutama dari gotongan nasionalis. Sampai tanggal 31 Oktober 1965 lercatat yang dibunuh 98 orang di daerah Bojolali, 44 orang di Klaten, 14 orang di Solo, dan 82 orang di daerah Djatinom dan Manisrenggo. Selain itu, 62 orang telah diculik dan tidak lagi bisa ditemukan.
Jalan besar antara Ampel, Kartasura, Delanggu, Klaten, Prambanan dipenuhi rintangan pepohonan yang ditcbangi. Saluran lelepon di berbagai tempat diputuskan. Beberapa kecamatan, antara lain Djatinom, Tjokrotulung, Mansirenggo, dan Musuk, telah dikuasai kelompok Kontra Revolusi.
Tanggal 21 Oktober merupakan titik tolak gerakan massa Kontra Revolusi dengan mengambil dalih Tentara Malaysia telah menduduki kota-kota di Jawa Tcngah. RPKAD dan polisi telah dikuasai oleh musuh-musuh Revolusi, sama dengan Tentara Siliwangi yang akan menumpas massa rakyat progresif revolusioner. Oleh karena itu, rakyat diperintahkan tidak usah mendengarkan siaran-siaran radio dari Jakarta berikut membaca koran, karena semua beritanya tidak benar alias bohong.
Tanggal 23 Oktober 1965 Kolonel (Inf) Sarwo Edhie, Komandan RPKAD, bersama anak buahnya tiba di Yogya untuk mengikuri upacara pemakaman Brigadir Jenderal (Anm) Katamso dan Kolonel (Anm) Sugiono di Makam Pahlawan Semaki. Semalam sebelumnya, jenazah Komandan berikut Kepala Staf Korem 72 tersebul baru saja ditemukan di Kentungan, di belakang asrama militer. Ketika sedang dalarn perjalanan menuju Makam Pahlawan Semaki, mendadak Sarwo Edhie menerima informasi lewat radio, massa komunis di sepanjang jalan raya Solo-Yogya bergerak, "...mereka memutuskan saluran telepon dan menebangi pohon-pohon di st-panjang jalan, dipakai untuk merintangi lalu lintas."
"Baik, saya kesana," jawab Sarwo Edhie.
Dia langsung memerintahknn anak buahnya meninggalkan tempat upacara. Dengan sigap mcreka kembali nalk truk, mcluncur menuju lokasi, tempat massa mencbangi pohon-pohon unluk dipakai penghalang jalan. Situasi segcra bisa dikendalikan karena massa komunis segera berhamburan begitu melihat pasukan Baret Merah dalang. Demikian pula dengan pemogokan di Stasiun Kereta Api Solo-Balapan oleh para anggota SBKA (Serikat Buruh Kereta Api). Pemogokan tersebut telah melumpuhkan perjalanan kercta api selunih Jawa Tengah karena Stasiun Solo-Balapan persis di tengah simpang tiga; Madiun, Yogya, dan Semarang.
Hendro Subroto mengikuti Sarwo Edhic selama Operasi Merapi. Dia mengungkapkannya dalam buku Dewan Revolusi PKI (tahun 2007):
"...sekitar pukul 16.30 Kolonel Sarwo Edhie memasuki Stasiun Balapan. Untuk antisipasi menghadapi kemungkinan amukan massa, satu kompi RPKAD mengambil posisi strategis dengan membawa senapan serbu AK-47, senapan mesin AKM dan RPD untuk melakukan pengamanan. Sarwo Edhie dengan memakai kacamata hitam serta membawa tongkat komando tanda mata dari Jenderai Yani berkata, Siapa yang mau tetap mogok, silakan duduk di sebelah kiri sava. Dia diam sejenak, kemudian melanjutkan kalirnatnya, siapa yang tidak ikut mogok, duduk di sebelah kanan."
Sambil melirik jam tangannya. Sarwo berkata, "Saya beri waktu lima menit, ...tentukan pilihan kalian."
Serentak terjadi kesibukan.
Para anggota SBKA yang sedang mogok dan sepanjang hari hanya duduk di lantai peron stasiun langsung sating berbisik. Lima menit kemudian, suara Sarwo Edhie memecah keheningan, Lho, kok tidak ada yang mau pindah duduk di sebelah kiri saya. Berarti, ... tidak seorang pun di antara kalian masih ingin mogok. Kalau begitu, segera atasi kemacetan perjalanan kereta api..." Semua pegawai DKA (Djawatan Kereta Api) Stasiun Solo- Balapan bergerak dan suasana setempat segera hidup kembali.
Aksi tebang pohon berikut pemogokan di Stasiun Kereta Api Solo-Balapan merupakan upaya terakhir oleh massa komunis untuk berusaha come-back di Jawa Tengah. Selain memutuskan saluran telpon dan membikin rintangan jalan, mereka juga menyerang pos-pos polisi terpencil serta gudang senjata di Depo Latihan Militer Klaten. Semua usaha tersebul berhasil digagalkan karena RPKAD tidak pernah datang terlambat.
Buku bertajuk The End of Sukarno (tahun 2002) juga mengisahkan pengalaman Sarwo Edhie: "Di daerah pedesaan Jawa Tengah, mereka yang menentang komunis diculik dan rumahnya dibakar. Di Solo, ramsan warga antikomunis dibunuh, rumah-rumahnya dibakar. Kami beruntung lidak pernah datang terlambat sehingga pada tanggal 30 Oktober gerombolan Gestapu praktis sudah menyerah semua. Sebagai upaya perlawanan secara militer berskala besar, aksi komunis bisa kami akhiri di Jawa Tengah."
Di sisi lain, menyadari luasnya wilayah Jawa Tengah berikut besamya jumlah penduduk, sementara pasukan yang dia pimpin sangat terbatas, Sarwo Edhie mencari jalan keluar untuk mengatasinya. Dia temukan cara, memberikan latihan militer kepada para pemuda dari golongan nasionalis dan agama agar mereka membantu operasi penumpasan. "Kami memberikan latihan militer singkat, dua atau tiga hari. Kemudian, mereka kami lepaskan agar berani menumpas komunis seakar-akamya," kata Sarwo Edhie.
Pernyataan memberikan latihan militer kepada para pemuda inilah yang nantinya menjadi awal dimulainya pembunuhan massal terhadap pengikut komunis atau mereka yang disangka komunis pascameletusnya Peristiwa 30 September. Pembenan latihan militer mcmang awalnya tidak bisa dihindari karena Sarwo Edhie terkcndala oleh jumlah pasukan ketika dia harus bisa membersihkan pendukung Gerakan 30 September di Kota Solo dan sekitarnya. Tetapi kclak ternyata, metode penumpasan scrupa kemudian dikembangkan di seluruh Jawa Tengah, Jawa Timur, sampai di Bali, dcngan memicu ekses berkelanjutan, akibat luasnya wilayah pedesaan yang harus diamankan serta terbatasnya jumlah tenaga berikut sarana yang bisa dipakai menjamin kedisiplinan selama operasi penumpasan PKI berlangsung.
Wartawan koran Christian Science Monitor, John Hughes, merupakan wartawan asing pertama yang datang ke Indonesia, empat hari setclah Peristiwa 30 September meletus. Tanggal 1 Oktober 1965 dia secara kebetulan sedang berada di Manila, Filipina, menyiapkan liputan mengenai rencana pemilihan presiden setempat. Mendadak, pada Jumat sore sebuah breaking news muncul, "...terjadi kudeta di Jakarta oleh kelompok tidak dikenal. Dikhawatirkan, Sukarno terbunuh karena sama sekali tidak ada kabarnya"
Hughes beruntung karena sudah punya visa masuk ke Indonesia, karena secara kebetulan telah menjadwalkan, selesai tugas di Manila akan berlibur di Bali. Masa itu, visa salah satu kendala utama bagi wartawan asing untuk masuk ke Indonesia akibat pemerintahan Presiden Sukarno yang semakin condong ke kiri, sangat alergi sekaligus membatasi kedatangan mereka. Malam itu juga Hughes menggebrak biro perjalanan, "...mana penerbangan paling cepat ke Jakarta. Booking-kan saya di sana."
Penerbangan tercepat tanggal 3 Oktober 1965.
Tetapi kemudian harus tertunda karena Bandara Kemajoran masih dinyatakan closed sehingga baru pada Senin sore John Hughes sampai di Jakarta. Meski terpaksa tertunda selama sehari, dia masih sempat menghadiri upacara pemakaman para jenderal korban Gerakan 30 September di Kalibata, kemudian meliput sidang darurat Kabinet Dwikora di Bogor serta mengikuti Sarwo Edhie menumpas massa komunis di Jawa Tengah. Laporannya meliput Peristiwa 30 September kemudian dibukukan, tcrbit dengan judul Indonesian Upheaval (tahun 1967) yang nantinya memperoleh penghargaan Pulitzer. Suasana Jakarta saat kedatangannya dia lukiskan sebagai berikut:
"...setiap persimpangan jalan utama, para prajurit dalam pakaian tempur loreng-loreng berdiri di atas tank atau panser, mengawasi dengan pandangan tajam arus lalu lintas di sekelilingnya. Semua saluran komunikasi ke luar negeri diputus, bahkan hubungan telepon di dalam negeri secara resmi dinyatakan, ...sedang dalam perbaikan. Dengan demikian, seandainya kita memerlukan sesuatu, harus bersedia datang sendiri. Itu pun hanya bisa dilakukan pada siang hari karena penguasa militer memberlakukan jam malam, mulai pukul 18.00 sampai 06.00 pagi."
"Pihak militer menguasai semua sarana komunikasi dan informasi. Semua media massa cetak tidak boleh terbit, kecuali dua koran milik militer. Satu-satunya sumber informasi hanya bisa diperoleh dari radio. Sepanjang waktu, radio mengudara menyiarkan musik, diselingi beragam pengumuman, terpusat dari satu sumber, yakni Dinas Penerangan Angkatan Darat."
Sarwo Edhie Tidak Pernah Ragu-ragu
"Ketika saya mendesak kepada Jenderal Soeharto agar segera clitugaskan ke Jawa Tengah, saya sama sekali tidak ingin mencari jasa atau kemegahan bagi diri sendiri. Saya hanya ingin mengajak rakyat untuk menumpas PKJ sampai ke akar-akarnya. Saya ingin membuka kedoknya, kemudian mcnunjukkan kepada rakyat, siapa yang sebenarnya berada di belakang Gestapu," kata Sarwo Edhie menjawab pertanyaan John Hughes.
Sarwo Edhie berangkat ke Jawa Tengah. Selain untuk menumpas para pendukung Gerakan 30 September, juga punya misi pribadi mencari jenazah Kolonel Katamso. tcmannya semasa mengikuti pendidikan militer PETA di Bogor pada masa pendudukan Jepang. Kolonel (Inf) Katamso, Komandan Resor Militer 72/Pamungkas, bersama kepala stafhya, Letnan Kolonel (Inf) Sugiono, sejak Jumat sore tanggal 1 Oktober 1965 hilang, diculik pasukan bersenjata tidak dikenal. Sudah lebih dan dua minggu mereka berdua hilang tanpa diketahui di mana jejaknya.
Sarwo Edhie melanjutkan, "...itu semua saya lakukan sebenarnya demi memenuhi permintaan Presiden Sukarno. Beliau selalu menantang, berikan kepadaku fakta-fakta keterlibatan PKI, maka aku akan segera tnengeluarkan sebuah keputusan politik. Mengingat alasan tersebut, saya berusaha untuk bisa membangkitkan kembali semangat rakyat, menumpas Gestapu. Agar kita bisa mengumpulkan fakta sebanyak-banyaknya, sebagai bukti keterlibatan PKI."
John Hughes mengaku sangat puas mendengarkan penjelasan Sarwo Edhie, yang disampaikan dalam bahasa Inggris jemih sekaligus tertata batk. Tidak heran karena Sarwo Edhie pernah satu setengah tahun mengikuti pendidikan militer di Amerika Serikat, dilanjutkan dengan mengikuti Sekolah Staf dan Komando di Australia, "...dengan teliti Sarwo Edhie menunjukkan pergerakan KPKAD selama melakukan operas! di Jawa Tengah. Dengan memakai tongkat komando yang selalu dibawanya, dia menunjukkan iokasi di peta, tempat pasukannya turun tangan. Bahkan, sering kali sambil memakai catatan dalam buku hariannya untuk checking akurasi tanggal kejadian atas keterangan yang telah dia berikan...."
Para perwira militer pendukung G30S di Jawa Tengah mencoba bersembunyi di sekitar puncak Gunung Merapi-Merbabu ketika RPKAD datang. Sarwo Edhie, selaku Komandan Operasi Merapi, dengan helikopter mengejar serta berhasil menghabisi mereka satu per satu. Dalam gelombang pertama serbuan telah ditewaskan Letnan Kolonel Usman, Mayor Samadi, Kapten Sukarno, serta sejumlah anggota PKI yang mengikutinya. Semenlara itu, Kolonel (Inf) Suherman, eks Asisten Intelijen Kodam VII/Diponegoro yang menunjuk dirinya sebagai Komandan G30S Jawa Tengah, bisa digiring ke sebuah lokasi terpencil di lereng Merapi. Suherman tertembak mati bersama dua perwira menengah Diponegoro, Kolonel Marjono dan Mayor Sukirno.
Suatu kali, konvoi yang dipimpin Sarwo Edhie dihadang sejumlah anggota Gerwani. Mereka menari-nari memadati jalan menghina RPKAD dengan mcnunjukkan bokong-nya. Menghadapi penghinaan semacam itu, Sarwo Edhie tidak pernah ragu-ragu bertindak. Dia perintahkan sebuah panser pengawalnya maju ke depan. Begitu kendaraan tersebut sudah siap, langsung keluar perintah, "Tembak mereka...."
Setelah salvo tembakan selesai, sejumlah penduduk kemudian maju ke depan, memprotes penembakan. Anak buabnya di atas panser diam, secara otomatis melirik komandannya, menunggu perintah lanjutan. Dengan nada datar Sarwo memerintahkan, "... tembak juga mereka,"
Dalam buku The End of Sukarno, edisi revisi untuk Indonesian Upheavel, kelanjutan insiden di atas kemudian dilukiskan, "Sarwo Edhie kemudian memberi batas waktu satu jam agar mereka bersedia menyerahkan senjatanya. Dia sengaja menunjukkan ketegasan dalam menghadapi sikap kepala batu massa pendukung G30S. Dengan mengeluarkan perintah tanpa ragu-ragu, masyarakat desa tersebut akhimya menyerahkan senjata mereka dan tidak lagi berani melecehkan ketegasan RPKAD. Sejak itu, pertahanan pendukung PKI di Jawa Tengah bisa dia rontokkan, satu demi satu.
John Hughes menulis catatan peijalanannya ke pedalaman Pulau Jawa sangat mengesankan. Agar tidak merusak suasana, saya kutip kalimat seutuhnya: "This island of Java in the last months of 1965 was the scene of one of history's worst orgies of slashing, shooting, chopping violence. Thousands of Indonesians who were members of the Communist Party, or who supported it, or who were suspected of supporting it, or who were said by somebody to have supported it, or who were suspected it, were put ruthlessv to death. In the mayhem, people innocent of Communist affilitiations were killed too, sometime because their old enemies were paying off grudges in the guise of an anti-Communist campaign..."
"In Central Java the army seems to have exercised broad control over the blood bath, although many civilians were also recruited to kill Communists. In East Java, the mass execution of Communists was lagcrly handed over to civilians, mainly the black-shirted Ansor youth of the Nahdlatul Ulama, who killed with fanatical relish."
"No Trials followed the mass arrests. Punishment was arbitrary and without appeal. Prisoners' names would be checked off against informations supplied bv informers. Those guilty of Communist affiliation were marked for execution. Usually at night, the army trucks would rumble up, and the doomed men would be driven a few miles out of town to some discreet spot chosen as the place of execution. Sometimes local villagers had already been ordered to dig big pits for the bodies. At other times, the prisoners themselves would be set to digging their graves."
"Then they would be killed. If the army was in charge, death usually came with a volley of gunfire. But often the army would hand over batches of prisoners to anti-Communists groups. Tfien execution would be usually by knife or the broad-bladed sickle used by many Javanese for work in the fields. Many Communists were kneeled, thumbs tied backs, on the brink of they graves...."
Dihanyutkan ke Sungai
Pembantaian terhadap massa komunis serta mereka yang hanya dituduh komunis terdengar oleh Presiden Sukarno. Tanggal 27 Oktober 1965, ketika berpidato di depan Pantjatunggal (lima pemimpin daerah; gubemur, panglima kodam, kepala polisi, jaksa, dan kctua DPRD) yang dikumpulkan dari sciuruh Indonesia, Sukamo dengan perasaan marah mengatakan, "...revolusi kita bukan revolusi bitrgelijk. Revolusi kita adalah revolusi rakyat yang perutnya tertindas. Dan rakyat yang perutnya tertindas, materialnya pasti juga tertindas, tidak bisa lain mereka pasti berangan-angan sosiaiisme."
"Rakyat ingin perutnya penuh, ingin materiele verhouding-nya layak. Dus Kom, atau Marxisms atau Sosialisme adalah salah satu unsur roman muka riel dari revolusi kita. Oleh karena itu als geheel genomen saya selalu berkata, revolusi kita ini adalah revolusi km Tetapi dengan sedih saya melihat, sekarang ada gejala revolusi kita bergeser ke kanan. Jika pergeseran berlangsung terus, itu merupakan malapetaka terbesar bagi bangsa Indonesia."
"Coba saudara-saudara dari Jawa Timur, dari Jawa Tengah, mengenai aksi-aksi pembakaran di sana? Saya bilang tidak hanya mereka, orang-orang Tionghoa saja yang kena. Saya mendapat laporan dari Surabaya sampai Banjuwangi, dat is me nog al een afstand, saudara-saudara di beberapa tempat terjadi rasialisme. Malah agak secara ovderdriven, Panglima Syaifudin dari Bali berkata: Pak antara Banjuwangi dan Surabaja di mana-mana plat gebrand. Saya tadi berkata ini rupanya ya sedikit overdriven, tapi benar bahwa antara Banjuwangi dan Surabaja di beberapa tempat, di banyak tempat, terjadi rasialisme. Apa yang akan saudara katakan tentang kejadian di Solo."
"Siapa yang dari Solo? Jenderal Harto sendiri. Achmadi, Muljono Herlambang. Coba di Solo saudara-saudara, apa yang terjadi beberapa hari lalu, verschrikkelijk. Rasialisme berkobar-kobar di sana, dan apa yang dinamakan wraak op de muizen verschrikkelijk...."
"Saya harap saudara-saudara semua berdiri tegak di belakang saya. Apa sebab? Saudara-saudara sendiri telah menulis dalam pernyataan sikap saudara, saudara-saudara akan tegak berdiri di belakang Pemimpin Besar Revolusi. Wel, saya sekarang nagih janji kepada saudara-saudara. Kalau benar-benar berdiri di belakang saya, setia kepada saya, jalankan perintah saya. Bukan hanya itu, jangan jegal perintah saya...."
Pidato dalam nada lebih keras diucapkan Presiden tanggal 8 Desember 1965, "...jenazah-jenazah Pemuda Rakjat, BTI, orang-orang PKI, atau para simpatisan PKI disembelih, dibunuh, kemudian mayatnya dibiarkan begitu saja tergeletak di pinggir jalan, di bawah pohon, atau dihanyutkan kesungai dan tidak ada yang mengurusnya sama sekali...."
Berita mengenai maraknya pembantaian massal semakin luas hingga membikin wajah Indonesia berubah suram di dunia antarbangsa. Angka jumlah korban juga menjadi bervariasi karena hanya bersumber dari desas-desus. Pertengahan bulan Desember 1965, Presiden selaku Panglima Besar KOTI membentuk FFC (Fact Finding Commission) yang akan disebar ke semua daerah untuk menyingkap misteri, jumlah korban tewas selama masa pancaroba politik pascameletusnya Peristiwa 30 September.
Menteri Dalam Negeri Mayor Jenderal Dr. Soemarno Sastroatmodjo ditunjuk sebagai Ketua FFC. Sedangkan anggotanya terdiri dari Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Brigadir Jenderal (Pol) Soetjipto, Menteri Agraria Hermanses, Menteri Penerangan Mayor Jenderal Achmadi, Menteri Negara Oei Tjoe Tat, dan Ketua Gabungan V/KOTI Brigadir Jenderal Soenarso. Selain itu, keanggotaan FFC dilengkapi tiga unsur partai, Kilian Sihotang (Parkindo), Chalid Mawardi (NU), dan Zaini Mansur (PNI).
Dalam biografinya yang diterbitkan tahun 1981 dengan judul Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya, Soemarno mengatakan, "FFC kemudian dipcrintahkan berangkat ke Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Ball untuk bisa menyusun laporan yang berguna bagi usaha pemulihan keamanan dalam masa epilog Peristiwa G30S. Tugas tersebut harus selesai dalam waktu cmpat belas hari dan FFC diberi wewcnang bertindak alas nama KOTI."
Mengingat luasnya wilayah yang harus dicermati berikut terbatasnya jumlah anggota serta alokasi waktu, FFC dibagi dalam lima tim. Sctiap tim dipimpin seorang menteri dengan anggota yang sedapat mungkin berlainan agamanya, "...sehingga dalam mengadakan penelitian serta tanya jawab dengan berbagai kalangan dapat dicapai lingkungan seluas-luasnya, agar laporan FFC nantinya bisa sejujur mungkin, tidak memihak salah satu pihak, dan di dalara penyusunan bertujuan untuk menyelamatkan persatuan dan kesatuan...."
Soemarno yang saal itu menjabat Menteri Dalam Negeri sekaligus Gubernur Djakarta Raja memang pilihan terbaik karena dia seorang mayor jenderal Angkatan Darat dan juga dokter.
Soemarno menulis:
"FFC rnenghadapi pembicaraan sangat rumit mengingat laporan yang selama ini disampaikan kepada Presiden tidak semuanya benar, bahkan ada yang sangat dibesar-besarkan dan tidak berdasar kenyataan. K.esan bahwa di Sungai Brantas penuh jenazah, waktu itu tidak menjadi kenyataan. Yagus, petani asal Klaten, penerima penghargaan karena mcnemukan varietas bibit padi unggul, diberitakan telah terbunuh. Ternyata, dia ditemukan FFC di kamp tahanan Jawa Tengah."
Di sisi lain, Soemamo mengatakan, "Jumlah korban tewas selalu berdasar dugaan. Tidak pernah ada catatan, siapa saja yang telah menjadi korban? Meski di sana-sini ada yang dibon, dipinjam, dan kembali lagi, mungkin saja disembunyikan temannya. Memang ada perbedaan pendapat antaranggota tentang situasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur."
"Di Jawa Timur kami tidak bisa mengunjungi mereka yang ditahan karena dilaporkan kamp-kamp tersebut sangat jauh letaknya. Tetapi di Jawa Tengah kami sempat melihat dan bercakap-cakap dengan mereka yang telah diamankan serta memperoleh perlakuan secara patut di kamp, yang tidak sedikit jumlahnya. Apa karena Panglima Kodam Jawa Tengah sudah sempat ditangkap oleh komplotan G30S dan berhasil membebaskan din sehingga dia kemudian dapat mengambil tindakan tegas?"
Sejak awal Presiden Sukarno agaknya merasa ragu, apakah FFC bisa mcngungkap jumlah korban sesungguhnya. Kesaksian mengenai hal ini dikemukakan Oei Tjoe Tat dalam biografinya (tahun 1995). Pada masa itu dia menjabat Menteri Negara: "Selesai pelantikan saya sebagai anggota FFC, saya baru saja masuk dalam mobil untuk meninggalkan Istana, tiba-tiba seorang ajudan Presiden menyusul, Pak Oei, dipanggil Bapak..."
Hanya Oei sendiri yang dipanggil Sukarno. "Kama aku jadikan anggota FFC, ectapi jangan kamu telan saja apa yang kalian lihat dan dengar melalui komisi ini. Aku tugaskan kamu untuk mencari data, baik di dalam maupun dari luar FFC. Kamu hams bekerja sendirian, sccara diam-diam, jalin kontak dengan rakyatt sebab komisi ini tidak mungkin menghubungi rakyat."
Mendapat titipan tugas khusus dari Sukamo, untuk bisa mencari angka korban sebenamya, maka "...di samping mengikuti seluruh acara FFC, sebagai anggota saya juga harus bisa siundap-slundup sendirian untuk mengecek jumlah korban di luar yang sudah dilaporkan secara resmi."
Sambutan di setiap daerah yang dikunjungi, menurut Oei Tjoe Tat, seperti di Jawa Timur, semuanya seragam dan teratur rapi. Begitu tim FFC datang, time schedule sudah tersedia sampai detail Sejak jam berangkat, seluruh acara serta lokasi yang dikunjungi, sampai jam makan serta waktu istirahat sudah tercetak rapi dalam buku petunjuk. Selain itu, dengan alasan security anggota dilarang pergi sendirian sehingga, "..kami semua diamankan dan dikurung terus di hotel." Oei Tjoe Tat terpaksa harus menyelundup untuk menemui informannya. Semasa di Hotel Bali Denpasar misalnya, dia keluar hotel lewat dapur dengan piama serta bersandal.
Dalam rapat pleno FFC terakhir, disepakati jumlah korban tewas di daerah yang ditinjau, yaitu sekilar Medan, sebagian Jawa Tengah, Jawa Timur, serta Bali, pendeknya belum dari seluruh Indonesia, selama kurun waklu bulan Desember 1965 sampai 2 Januari 1966 sudah berjumlah 80.000 orang. "Apa yang terjadi sesudahnya tidak diketahui sebab aksi pembunuhan temyata masih berlangsung terus, malahan semakin meningkat," kenang Oei Tjoe Tat yang juga tanpa ragu-ragu ikut tanda tangan dalam laporan FFC.
Setelah laporan selesai disusun dan semua anggota FFC sudah membubuhkan tanda tangan, Oei Tjoe Tat bertanya kepada Jenderal (Pol) Soetjipto Joedodihardjo, Panglima Angkatan Kepolisian, "Apa benar angka korban hanya 80.000 orang tewas?"
Soetjipto menjawab, "Sudah pasti lebih banyak, tapi apa gunanya dibuat ramai-ramai?"
Kemudian dia menanyakan kepada Mayor Jenderal Achmadi, Menteri Penerangan. Mendapatkan jawaban, "...jumlahnya ya kira-kira, ada kalau sepuluh kali iipat...."
"Kamu kok bersedia tanda tangan angka 80.000?" desak Oei Tjoe Tat.
Achmadi menukas, "...yo wis ben (yah, biarkan saja)."
Berapa Jumlah Korban?
Tanggal 2 Januari 1966, Ketua FFC Mayor Jenderal Dr. Soemarno Sosroatmodjo menghadap Presiden Sukamo, menyerahkan laporan resmi, "...jumlah yang menjadi korban selama epiloog G30S di daerah Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara lebih kurang 80.000 orang tewas."
Sesudah acara selesai, Presiden langsung memanggil Oei Tjoe Tat sendirian ke kamar untuk menanyakan, "Kabeh sakjane piro (Jumlah selurulinya sebenarnya berapa)?"
"Pak, tadi kan sudah diumumkan 80.000?"
Sukamo tersenyum, "Ah kuwi kan ongko gawean. Tapi kowe sendiri, yang kowe temukan berapa jumlahnya?"
"...berdasar pengalaman mengikuti FFC, jumlah korbannya sekitar lima sampai enam kali Iipat, jadi lebih kurang angkanya 500.000 atau 600.000."
Berapa sebenarnya jumlah korban tewas dalam epiloog Peristiwa 30 September memang terus menjadi bahan pergunjingan meski FFC secara resmi mengumumkan angka 80.000 orang. Rum Aly, Redaktur Mingguan Mahasiswa Indonesia, dalam buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 melukiskan: "Perkiraan moderat memang menyebutkan angka 500.000 jiwa. Perhitungan lain antara satujuta sampai dua juta. Tetapi Sarwo Edhie, yang berada di lapangan pasca peristiwa, baik di Jawa Tengah, Jawa Timur, maupun di Bali, suatu ketika pernah menyebut angka tiga juta jiwa. Hingga akhir hayatnya, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo bahkan tidak pernah meralat sama sekali angka jumlah korban yang telah disebutkannya."
Menurut Rum Aly, "Sarwo Edhie memiliki catatan-catatan mengenai pengalamannya di seputar Peristiwa 30 September 1965 dan masa-masa sesudahnya, termasuk tentang malapetaka sosiologis tersebut. Mungkin saja ada angka-angka signifikan dalam catatannya. Namun sayang, catatan Sarwo Edhie hilang di tangan orang, justru dalam rangka untuk menerbitkannya."
"Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie, catatan yang hilang tersebut pasti berisikan hal-hal yang amat berharga dan relatif tidak mengandung unsur-unsur pemalsuan sejarah. Atau, naskah catatan itu hilang karena justru bersih dari pemalsuan sejarah? Selain korban jiwa malapetaka sosial tersebut, yang sebenarnya tak hanya menimpa massa pendukung PKI, sejumlah orang juga menjadi tahanan politik selama bertahun-tahun lamanya di berbagai tempat penahanan di seluruh Indonesia dan kemudian di Pulau Buru."
Sayang, naskah catatan Sarwo Edhi hilang.
0 komentar:
Kaskus
Only
:ilovekaskus
:iloveindonesia
:kiss
:maho
:najis
:nosara
:marah
:berduka
:malu:
:ngakak
:repost:
:repost2:
:sup2:
:cendolbig
:batabig
:recsel
:takut
:ngacir2:
:shakehand2:
:bingung
:cekpm
:cd
:hammer
:peluk
:toast
:hoax:
:cystg
:dp
:selamat
:thumbup
:2thumbup
:angel
:matabelo
:mewek:
:request
:babyboy:
:babyboy1:
:babymaho
:babyboy2:
:babygirl
:sorry
:kr:
:travel
:nohope
:kimpoi
:ngacir:
:ultah
:salahkamar
:rate5
:cool
:bola
by Pakto
:mewek2:
:rate-5
:supermaho
:4L4Y
:hoax2:
:nyimak
:hotrit
:sungkem
:cektkp
:hope
:Pertamax
:thxmomod
:laper
:siul
:2malu:
:ngintip
:hny
:cendolnya
by misterdarvus
:maintenis:
:maintenis2:
:soccer
:devil
:kr2:
:sunny
Posting Komentar